KELAHIRAN MUHAMMADIYAH
Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1912 M)
merupakan momentum penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah kelahiran sebuah
gerakan Islam modernis terbesar di Indonesia , yang melakukan
perintisan atau kepeloporan pemurnian sekaligus pembaruan Islam di negeri
berpenduduk terbesar muslim di dunia. Sebuah gerakan yang didirikan oleh
seorang kyai alim, cerdas, dan berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan
atau Muhammad Darwis dari kota santri Kauman Yogyakarta .
Kata ”Muhammadiyah” secara bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”.
Penggunaan kata ”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan
(menghubungkan) dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan
nama tersebut menurut H. Djarnawi Hadikusuma mengandung pengertian sebagai
berikut: ”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung
organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad
saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama
Islam sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw,
agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama
Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi
nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.”
Kelahiran dan keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak
lepas dan merupakan menifestasi dari gagasan pemikiran dan amal
perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis) yang menjadi pendirinya.
Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang kedua kalinya
pada tahun 1903, Kyai Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di Tanah Air.
Gagasan pembaruan itu diperoleh Kyai Dahlan setelah berguru kepada ulama-ulama
Indonesia yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau,
Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih
dari Maskumambang; juga setelah membaca pemikiran-pemikiran para pembaru Islam
seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani,
Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dengan modal kecerdasan dirinya serta
interaksi selama bermukim di Ssudi Arabia dan
bacaan atas karya-karya para pembaru pemikiran Islam itu telah menanamkan benih
ide-ide pembaruan dalam diri Kyai Dahlan. Jadi sekembalinya dari Arab Saudi,
Kyai Dahlan justru membawa ide dan gerakan pembaruan, bukan malah menjadi
konservatif.
Embrio kelahiran Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi untuk mengaktualisasikan gagasan-gagasannya merupakan hasil interaksi Kyai Dahlan dengan kawan-kawan dari Boedi Oetomo yang tertarik dengan masalah agama yang diajarkan Kyai Dahlan, yakni R. Budihardjo dan R. Sosrosugondo. Gagasan itu juga merupakan saran dari salah seorang siswa Kyai Dahlan di Kweekscholl Jetis di mana Kyai mengajar agama pada sekolah tersebut secara ekstrakulikuler, yang sering datang ke rumah Kyai dan menyarankan agar kegiatan pendidikan yang dirintis Kyai Dahlan tidak diurus oleh Kyai sendiri tetapi oleh suatu organisasi agar terdapat kesinambungan setelah Kyai wafat. Dalam catatan Adaby Darban, ahli sejarah dari UGM kelahiran Kauman, nama ”Muhammadiyah” pada mulanya diusulkan oleh kerabat dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang bernama Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang kemudian menjadi penghulu Kraton Yogyakarta, yang kemudian diputuskan Kyai Dahlan setelah melalui shalat istikharah (Darban, 2000: 34). Artinya, pilihan untuk mendirikan Muhammadiyah memiliki dimensi spiritualitas yang tinggi sebagaimana tradisi kyai atau dunia pesantren.
Embrio kelahiran Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi untuk mengaktualisasikan gagasan-gagasannya merupakan hasil interaksi Kyai Dahlan dengan kawan-kawan dari Boedi Oetomo yang tertarik dengan masalah agama yang diajarkan Kyai Dahlan, yakni R. Budihardjo dan R. Sosrosugondo. Gagasan itu juga merupakan saran dari salah seorang siswa Kyai Dahlan di Kweekscholl Jetis di mana Kyai mengajar agama pada sekolah tersebut secara ekstrakulikuler, yang sering datang ke rumah Kyai dan menyarankan agar kegiatan pendidikan yang dirintis Kyai Dahlan tidak diurus oleh Kyai sendiri tetapi oleh suatu organisasi agar terdapat kesinambungan setelah Kyai wafat. Dalam catatan Adaby Darban, ahli sejarah dari UGM kelahiran Kauman, nama ”Muhammadiyah” pada mulanya diusulkan oleh kerabat dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang bernama Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang kemudian menjadi penghulu Kraton Yogyakarta, yang kemudian diputuskan Kyai Dahlan setelah melalui shalat istikharah (Darban, 2000: 34). Artinya, pilihan untuk mendirikan Muhammadiyah memiliki dimensi spiritualitas yang tinggi sebagaimana tradisi kyai atau dunia pesantren.
Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk
mengaktualisasikan pikiran-pikiran pembaruan Kyai Dahlan, menurut Adaby Darban
(2000: 13) secara praktis-organisatoris untuk mewadahi dan memayungi sekolah
Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1 Desember 1911.
Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari ”sekolah” (kegiatan
Kyai Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kyai Dahlan
secara informal dalam memberikan pelajaran yang mengandung ilmu agama Islam dan
pengetahuan umum di beranda rumahnya. Dalam tulisan Djarnawi Hadikusuma yang
didirikan pada tahun 1911 di kampung Kauman Yogyakarta tersebut, merupakan
”Sekolah Muhammadiyah”, yakni sebuah sekolah agama, yang tidak diselenggarakan
di surau seperti pada umumnya kegiatan umat Islam waktu itu, tetapi bertempat
di dalam sebuah gedung milik ayah Kyai Dahlan, dengan menggunakan meja dan
papan tulis, yang mengajarkan agama dengan dengan cara baru, juga diajarkan
ilmu-ilmu umum.
Maka pada tanggal 18 November 1912 Miladiyah bertepatan dengan 8
Dzulhijah 1330 Hijriyah di Yogyakarta akhirnya didirikanlah sebuah organisasi
yang bernama ”MUHAMMADIYAH”. Organisasi baru ini diajukan pengesahannya pada
tanggal 20 Desember 1912 dengan mengirim ”Statuten Muhammadiyah” (Anggaran
Dasar Muhammadiyah yang pertama, tahun 1912), yang kemudian baru disahkan oleh
Gubernur Jenderal Belanda pada 22 Agustus 1914. Dalam ”Statuten Muhammadiyah”
yang pertama itu, tanggal resmi yang diajukan ialah tanggal Miladiyah yaitu 18
November 1912, tidak mencantumkan tanggal Hijriyah. Dalam artikel 1 dinyatakan,
”Perhimpunan itu ditentukan buat 29 tahun lamanya, mulai 18 November 1912.
Namanya ”Muhammadiyah” dan tempatnya di Yogyakarta ”.
Sedangkan maksudnya (Artikel 2), ialah: a. menyebarkan pengajaran Igama
Kangjeng Nabi Muhammad Shallalahu ‘Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputra di
dalam residensi Yogyakarta , dan b. memajukan
hal Igama kepada anggauta-anggautanya.”.
Terdapat hal menarik, bahwa kata ”memajukan” (dan sejak tahun 1914
ditambah dengan kata ”menggembirakan”) dalam pasal maksud dan tujuan
Muhammadiyah merupakan kata-kunci yang selalu dicantumkan dalam ”Statuten
Muhammadiyah” pada periode Kyai Dahlan hingga tahun 1946 (yakni: Statuten
Muhammadiyah Tahun 1912, Tahun 1914, Tahun 1921, Tahun 1931, Tahun 1931, dan
Tahun 1941). Sebutlah Statuten tahun 1914: Maksud Persyarikatan ini yaitu: a.
Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran Igama di Hindia Nederland , dan b.
Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama
Islam kepada lid-lidnya. Dalam pandangan Djarnawi Hadikusuma, kata-kata yang
sederhana tersebut mengandung arti yang sangat dalam dan luas. Yaitu, ketika
umat Islam sedang dalam kelemahan dan kemunduran akibat tidak mengerti kepada
ajaran Islam yang sesungguhnya, maka Muhammadiyah mengungkap dan mengetengahkan
ajaran Islam yang murni itu serta menganjurkan kepada umat Islam pada umumnya
untuk mempelajarinya, dan kepada para ulama untuk mengajarkannya, dalam suasana
yang maju dan menggembirakan.
Pada AD Tahun 1946 itulah pencantuman tanggal Hijriyah (8 Dzulhijjah
1330) mulai diperkenalkan. Perubahan penting juga terdapat pada AD Muhammadiyah
tahun 1959, yakni dengan untuk pertama kalinya Muhammadiyah mencantumkan ”Asas
Islam” dalam pasal 2 Bab II., dengan kalimat, ”Persyarikatan berasaskan Islam”.
Jika didaftar, maka hingga tahun 2005 setelah Muktamar ke-45 di Malang, telah
tersusun 15 kali Statuten/Anggaran Dasar Muhammadiyah, yakni
berturut-turut tahun 1912, 1914, 1921, 1934, 1941, 1943, 1946, 1950 (dua kali
pengesahan), 1959, 1966, 1968, 1985, 2000, dan 2005. Asas
Islam pernah dihilangkan dan formulasi tujuan Muhammadiyah juga mengalami
perubahan pada tahun 1985 karena paksaan dari Pemerintah Orde Baru dengan
keluarnya UU Keormasan tahun 1985. Asas Islam diganti dengan asas Pancasila,
dan tujuan Muhammadiyah berubah menjadi ”Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah
menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat
utama, adil dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu wata’ala”. Asas Islam dan
tujuan dikembalikan lagi ke ”masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” dalam AD
Muhammadiyah hasil Muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta .
Kelahiran Muhammadiyah sebagaimana digambarkan itu melekat dengan sikap,
pemikiran, dan langkah Kyai Dahlan sebagai pendirinya, yang mampu memadukan
paham Islam yang ingin kembali pada Al-Quran dan Sunnah Nabi dengan orientasi
tajdid yang membuka pintu ijtihad untuk kemajuan, sehingga memberi karakter
yang khas dari kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah di kemudian hari. Kyai
Dahlan, sebagaimana para pembaru Islam lainnya, tetapi dengan tipikal yang
khas, memiliki cita-cita membebaskan umat Islam dari keterbelakangan dan
membangun kehidupan yang berkemajuan melalui tajdid (pembaruan) yang meliputi
aspek-aspek tauhid (‘aqidah), ibadah, mu’amalah, dan pemahaman terhadap ajaran
Islam dan kehidupan umat Islam, dengan mengembalikan kepada sumbernya
yang aseli yakni Al-Quran dan Sunnah Nabi yang Shakhih, dengan membuka ijtihad.
Mengenai langkah pembaruan Kyai Dahlan, yang merintis lahirnya
Muhammadiyah di Kampung Kauman, Adaby Darban (2000: 31) menyimpulkan hasil
temuan penelitiannya sebagai berikut:”Dalam bidang tauhid, K.H A. Dahlan ingin
membersihkan aqidah Islam dari segala macam syirik, dalam bidang ibadah,
membersihkan cara-cara ibadah dari bid’ah, dalam bidang mumalah,
membersihkan kepercayaan dari khurafat, serta dalam bidang pemahaman terhadap
ajaran Islam, ia merombak taklid untuk kemudian memberikan kebebasan dalam
ber-ijtihad.”
Adapun langkah pembaruan yang bersifat ”reformasi” ialah dalam merintis
pendidikan ”modern” yang memadukan pelajaran agama dan umum. Menurut
Kuntowijoyo, gagasan pendidikan yang dipelopori Kyai Dahlan, merupakan
pembaruan karena mampu mengintegrasikan aspek ”iman” dan ”kemajuan”, sehingga
dihasilkan sosok generasi muslim terpelajar yang mampu hidup di zaman modern
tanpa terpecah kepribadiannya (Kuntowijoyo, 1985: 36). Lembaga pendidikan
Islam ”modern” bahkan menjadi ciri utama kelahiran dan perkembangan
Muhammadiyah, yang membedakannya dari lembaga pondok pesantren kala itu.
Pendidikan Islam “modern” itulah yang di belakang hari diadopsi dan menjadi
lembaga pendidikan umat Islam secara umum. Langkah ini pada masa lalu merupakan
gerak pembaruan yang sukses, yang mampu melahirkan generasi terpelajar Muslim,
yang jika diukur dengan keberhasilan umat Islam saat ini tentu saja akan lain,
karena konteksnya berbeda.
Pembaruan Islam yang cukup orisinal dari Kyai Dahlan dapat dirujuk pada
pemahaman dan pengamalan Surat Al-Ma’un. Gagasan dan pelajaran tentang Surat
Al-Maun, merupakan contoh lain yang paling monumental dari pembaruan yang
berorientasi pada amal sosial-kesejahteraan, yang kemudian melahirkan lembaga
Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKU). Langkah momumental ini dalam wacana Islam
kontemporer disebut dengan ”teologi transformatif”, karena Islam tidak sekadar
menjadi seperangkat ajaran ritual-ibadah dan ”hablu min Allah” (hubungan dengan
Allah) semata, tetapi justru peduli dan terlibat dalam memecahkan
masalah-masalah konkret yang dihadapi manusia. Inilah ”teologi amal” yang
tipikal (khas) dari Kyai Dahlan dan awal kehadiran Muhammadiyah, sebagai bentuk
dari gagasan dan amal pembaruan lainnya di negeri ini.
Kyai Dahlan juga peduli dalam memblok umat Islam agar tidak menjadi
korban misi Zending Kristen, tetapi dengan cara yang cerdas dan elegan. Kyai
mengajak diskusi dan debat secara langsung dan terbuka dengan sejumlah pendeta
di sekitar Yogyakarta . Dengan pemahaman adanya
kemiripan selain perbedaan antara Al-Quran sebagai Kutab Suci umat Islam dengan
kitab-kitab suci sebelumnya, Kyai Dahlan menganjurkan atau mendorong ”umat
Islam untuk mengkaji semua agama secara rasional untuk menemukan kebenaran yang
inheren dalam ajaran-ajarannya”, sehingga Kyai pendiri Muhammadiyah ini
misalnya beranggapan bahwadiskusi-diskusi tentang Kristen boleh dilakukan di
masjid (Jainuri, 2002: 78) .
Kepeloporan pembaruan Kyai Dahlan yang menjadi tonggak berdirinya
Muhammadiyah juga ditunjukkan dengan merintis gerakan perempuan ‘Aisyiyah tahun
1917, yang ide dasarnya dari pandangan Kyai agar perempuan muslim tidak hanya
berada di dalam rumah, tetapi harus giat di masyarakat dan secara khusus
menanamkan ajaran Islam serta memajukan kehidupan kaum perempuan. Langkah pembaruan
ini yang membedakan Kyai Dahlan dari pembaru Islam lain, yang tidak dilakukan
oleh Afghani, Abduh, Ahmad Khan, dan lain-lain (mukti Ali, 2000: 349-353).
Perintisan ini menunjukkan sikap dan visi Islam yang luas dari Kyai Dahlan
mengenai posisi dan peran perempuan, yang lahir dari pemahamannya yang cerdas
dan bersemangat tajdid, padahal Kyai dari Kauman ini tidak bersentuhan dengan
ide atau gerakan ”feminisme” seperti berkembang sekarang ini. Artinya, betapa
majunya pemikiran Kyai Dahlan yang kemudian melahirkan Muhammadiyah sebagai
gerakan Islam murni yang berkemajuan.
Kyai Dahlan
dengan Muhammadiyah yang didirikannya, menurut Djarnawi Hadikusuma (t.t: 69)
telah menampilkan Islam sebagai ”sistem kehidupan mansia dalam segala seginya”.
Artinya, secara Muhammadiyah bukan hanya memandang ajaran Islam sebagai aqidah
dan ibadah semata, tetapi merupakan suatu keseluruhan yang menyangut akhlak dan
mu’amalat dunyawiyah. Selain itu, aspek aqidah dan ibadah pun harus
teraktualisasi dalam akhlak dan mu’amalah, sehingga Islam benar-benar mewujud
dalam kenyataan hidup para pemeluknya. Karena itu, Muhammadiyah memulai
gerakannya dengan meluruskan dan memperluas paham Islam untuk diamalkan dalam
sistem kehidupan yang nyata.
Kyai Dahlan dalam mengajarkan Islam sungguh sangat mendalam, luas,
kritis, dan cerdas. Menurut Kyai Dahlan, orang Islam itu harus mencari
kebenaran yang sejati, berpikir mana yang benar dan yang salah, tidak taklid
dan fanatik buta dalam kebenaran sendiri, menimbang-nimbang dan menggunakan
akal pikirannya tentang hakikat kehiduupan, dan mau berpikir teoritik dan
sekaligus beripiki praktik (K.R. H. Hadjid, 2005). Kyai Dahlan tidak ingin umat
Islam taklid dalam beragama, juga tertinggal dalam kemajuan hidup. Karena itu
memahami Islam haruslah sampai ke akarnya, ke hal-hal yang sejati atau hakiki
dengan mengerahkan seluruh kekuatan akal piran dan ijtihad.
Dalam memahami Al-Quran, dengan kasus mengajarkan Surat Al-Ma’un, Kyai Dahlan mendidik untuk mempelajari ayat Al-Qur’an satu persatu ayat, dua atau tiga ayat, kemudian dibaca dan simak dengan tartil serta tadabbur (dipikirkan): ”bagaimanakah artinya? bagaimanakah tafsir keterangannya? bagaimana maksudnya? apakah ini larangan dan apakah kamu sudah meninggalkan larangan ini? apakah ini perintah yang wajib dikerjakan? sudahkah kita menjalankannya?” (Ibid: 65). Menurut penuturan Mukti Ali, bahwa model pemahaman yang demikian dikembangkan pula belakangan oleh KH.Mas Mansur, tokoh Muhammadiyah yang dikenal luas dan mendalam ilmu agamanya, lulusan Al-Azhar Cairo, cerdas pemikirannya sekaligus luas pandangannya dalam berbagai masalah kehidupan.
Dalam memahami Al-Quran, dengan kasus mengajarkan Surat Al-Ma’un, Kyai Dahlan mendidik untuk mempelajari ayat Al-Qur’an satu persatu ayat, dua atau tiga ayat, kemudian dibaca dan simak dengan tartil serta tadabbur (dipikirkan): ”bagaimanakah artinya? bagaimanakah tafsir keterangannya? bagaimana maksudnya? apakah ini larangan dan apakah kamu sudah meninggalkan larangan ini? apakah ini perintah yang wajib dikerjakan? sudahkah kita menjalankannya?” (Ibid: 65). Menurut penuturan Mukti Ali, bahwa model pemahaman yang demikian dikembangkan pula belakangan oleh KH.Mas Mansur, tokoh Muhammadiyah yang dikenal luas dan mendalam ilmu agamanya, lulusan Al-Azhar Cairo, cerdas pemikirannya sekaligus luas pandangannya dalam berbagai masalah kehidupan.
Kelahiran Muhammadiyah dengan gagasan-gagasan cerdas dan pembaruan dari
pendirinya, Kyai Haji Ahmad Dahlan, didorong oleh dan atas pergumulannya dalam
menghadapi kenyataan hidup umat Islam dan masyarakat Indonesia kala itu, yang
juga menjadi tantangan untuk dihadapi dan dipecahkan. Adapun faktor-faktor yang
menjadi pendorong lahirnya Muhammadiyah ialah antara lain: (a) Umat Islam tidak
memegang teguh tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi, sehingga menyebabkan
merajalelanya syirik, bid’ah, dan khurafat, yang mengakibatkan umat Islam tidak
merupakan golongan yang terhormat dalam masyarakat, demikian pula agama
Islam tidak memancarkan sinar kemurniannya lagi; (b) Ketiadaan persatuan
dan kesatuan di antara umat Islam, akibat dari tidak tegaknya ukhuwah Islamiyah
serta ketiadaan suatu organisasi yang kuat; (c) Kegagalan dari sebagian
lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam memprodusir kader-kader Islam, karena
tidak lagi dapat memenuhi tuntutan zaman; (d) Umat Islam kebanyakan hidup dalam
alam fanatisme yang sempit, bertaklid buta serta berpikir secara dogmatis,
berada dalam konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme; dan (e) Karena
keinsyafan akan bahaya yang mengancam kehidupan dan pengaruh agama Islam,
serta berhubung dengan kegiatan misi dan zending Kristen di Indonesia
yang semakin menanamkan pengaruhnya di kalangan rakyat (Junus Salam, 1968: 33).
Karena itu, jika disimpulkan, bahwa berdirinya Muhammadiyah adalah karena
alasan-alasan dan tujuan-tujuan sebagai berikut: (1) Membersihkan Islam di
Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam; (2) Reformulasi doktrin
Islam dengan pandangan alam pikiran modern; (3) Reformulasi ajaran dan
pendidikan Islam; dan (4) Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luar
(H.A. Mukti Ali, dalam Sujarwanto & Haedar Nashir, 1990: 332).
Kendati menurut sementara pihak Kyai Dahlan tidak melahirkan
gagasan-gagasan pembaruan yang tertulis lengkap dan tajdid Muhammadiyah
bersifat ”ad-hoc”, namun penilaian yang terlampau akademik tersebut tidak harus
mengabaikan gagasan-gagasan cerdas dan kepeloporan Kyai Dahlan dengan
Muhammadiyah yang didirikannya, yang untuk ukuran kala itu dalam konteks
amannya sungguh merupakan suatu pembaruan yang momunemntal. Ukuran saat ini
tentu tidak dapat dijadikan standar dengan gerak kepeloporan masa lalu dan hal
yang mahal dalam gerakan pembaruan justru pada inisiatif kepeloporannya.
Kyai Dahlan dengn Muhammadiyah yang didirikannya terpanggil untuk mengubah
keadaan dengan melakukan gerakan pembaruan. Untuk memberikan gambaran lebih
lengkap mengenai latarbelakang dan dampak dari kelahiran gerakan Muhammadiyah
di Indonesia, berikut pandangan James Peacock (1986: 26), seorang antropolog
dari Amerika Serikat yang merintis penelitian mengenai Muhammadiyah tahun
1970-an, bahwa: ”Dalam setengah abad sejak berkembangnya pembaharuan di
Asia Tenggara, pergerakan itu tumbuh dengan cara yang berbeda di bermacam macam
daerah. Hanya di Indonesia saja gerakan pembaharuan Muslimin itu menjadi
kekuatan yang besar dan teratur. Pada permulaan abad ke-20 terdapat sejumlah
pergerakan kecil kecil, pembaharuan di Indonesia bergabung menjadi
beberapa gerakan kedaerahan dan sebuah pergerakan nasional yang tangguh,
Muhammadiyah. Dengan beratus-ratus cabang di seluruh kepulauan dan berjuta-juta
anggota yang tersebar di seluruh negeri, Muhammadiyah memang merupakan
pergerakan Islam yang terkuat yang pernah ada di Asia Tenggara. Sebagai
pergerakan yang memajukan ajaran Islam yang murni, Muhammadiyah juga telah
memberikan sumbangan yang besar di bidang kemasyarakatan dan pendidikan.
Klinik-klinik perawatan kesehatan, rumah-rumah piatu, panti asuhan, di samping
beberapa ribu sekolah menjadikan Muhammadiyah sebagai lembaga non-Kristen
dalam bidang kemasyarakatan, pendidikan dan keagamaan swasta yang utama di Indonesia .
‘Aisyiah, organisasi wanitanya, mungkin merupakan pergerakan wanita Islam yang
terbesar di dunia. Pendek kata Muhammadiyah merupakan suatu organisasi yang
utama dan terkuat di negara terbesar kelima di dunia.”.
Kelahiran Muhammadiyah secara teologis memang melekat dan memiliki
inspirasi pada Islam yang bersifat tajdid, namun secara sosiologis sekaligus
memiliki konteks dengan keadaan hidup umat Islam dan masyarakat Indonesia yang
berada dalam keterbelakangan. Kyai Dahlan melalui Muhammadiyah sungguh telah
memelopori kehadiran Islam yang otentik (murni) dan berorientasi pada kemajuan
dalam pembaruannya, yang mengarahkan hidup umat Islam untuk beragama secara
benar dan melahirkan rahmat bagi kehidupan. Islam tidak hanya ditampilkan
secara otentik dengan jalan kembali kepada sumber ajaran yang aseli yakni
Al-Qur‘an dan Sunnah Nabi yang sahih, tetapi juga menjadi kekuatan untuk
mengubah kehidupan manusia dari serba ketertinggalan menuju pada dunia
kemajuan.
Fenomena baru yang juga tampak menonjol dari kehadiran Muhammadiyah
ialah, bahwa gerakan Islam yang murni dan berkemajuan itu dihadirkan bukan
lewat jalur perorangan, tetapi melalui sebuah sistem organisasi.
Menghadirkan gerakan Islam melalui organisasi merupakan terobosan waktu itu,
ketika umat Islam masih dibingkai oleh kultur tradisional yang lebih
mengandalkan kelompok-kelompok lokal seperti lembaga pesantren dengan peran
kyai yang sangat dominan selaku pemimpin informal. Organisasi jelas merupakan
fenomena modern abad ke-20, yang secara cerdas dan adaptif telah diambil oleh
Kyai Dahlan sebagai “washilah” (alat, instrumen) untuk mewujudkan cita-cita
Islam.
Mem-format gerakan Islam melalui organisasi dalam konteks kelahiran
Muhammadiyah, juga bukan semata-mata teknis tetapi juga didasarkan pada rujukan
keagmaan yang selama ini melekat dalam alam pikiran para ulama mengenai qaidah
“mâ lâ yatimm al-wâjib illâ bihi fa huwâ wâjib”, bahwa jika suatu urusan tidak
akan sempurna manakala tanpa alat, maka alat itu menjadi wajib adanya. Lebih
mendasar lagi, kelahiran Muhammadiyah sebagai gerakan Islam melalui sistem
organisasi, juga memperoleh rujukan teologis sebagaimana tercermin dalam
pemaknaan/penafsiran Surat Ali Imran ayat ke-104, yang memerintahkan
adanya “sekelompok orang untuk mengajak kepada Islam, menyuruh pada yang
ma‘ruf, dan mencegah dari yang munkar”. Ayat Al-Qur‘an tersebut di kemudian
hari bahkan dikenal sebagai ”ayat” Muhammadiyah.
Muhammadiyah dengan inspirasi Al-Qur‘an Surat Ali Imran 104 tersebut
ingin menghadirkan Islam bukan sekadar sebagai ajaran “transendensi” yang
mengajak pada kesadaran iman dalam bingkai tauhid semata. Bukan sekadar
Islam yang murni, tetapi tidak hirau terhadap kehidup. Apalagi Islam yang murni
itu sekadar dipahami secara parsial. Namun, lebih jauh lagi Islam ditampilkan
sebagai kekuatan dinamis untuk transformasi sosial dalam dunia nyata
kemanusiaan melalui gerakan “humanisasi” (mengajak pada serba kebaikan)
dan “emanisipasi” atau “liberasi” (pembebasan dari segala kemunkaran), sehingga
Islam diaktualisasikan sebagai agama Langit yang Membumi, yang menandai
terbitnya fajar baru Reformisme atau Modernisme Islam di Indonesia.
Muhammadiyah adalah gerakan islam
Muhammadiyah sebagai gerakan islam, sesuai dengan tujuan Muhammadiyah
yaitumenegakan dan mejunjung tinggi agama islam. Menggerakan Muhammadiyah
sesuai dengan tujuan yang akan di capai dengan kekuatan lahir dan batin, sesuai
dengan ajaran islam.
Menggerakan islam berarti mengamalkan islam dengan sungguh-sungguh.
Mengamalkan ajaran islam menurut muhannadiyah adalah menempatkan Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi Muhammad SAW. Sebagai sumber ibadahsekaligus sebagai sumber
penggerak jiwa yang selalu menjadi modal perjuangan Muhammadiyah.
Muhammadiyah sebagai gerakan islam bergerak dengan dengan organisasi
untuk mencapai cita-cita dan tujuannya. Kata organisasi dalam Muhammadiyah di
sebut dengan namna persyarikatan. Karena perjuangan untukn mencapai cita-cita
hanya akan berhasil apabila didukung dan dikerjakan bersama oleh masyarakat.
Muhammadiyah sebaqgai Gerakan Tajdid
Tajdid yang dimaksud dalam gerakan Muhammadiyah adalah memperbaharui cara
berpikir sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman. Bukan pembaharuan
ajaran islam akan tetapi cara berpikir umat islam.
Yang menjadi sasaran tajdid adalah manusia. Perubahan zaman jangan sampi
merusak dasar-dasar ajaran islam, demikian juga tidak membuat umat islam
ketinggalan zaman sehingga tidak leluasa menjalankan amal ibadah, bahkan zaman
yang terus berkembang hendaknya memberi kesempatan kepada umat islam yang teguh
kepada jabatan agamanya, bertambah mendapatkan peluang baru imengamalkan
seluruh ajaran agamanya.
Tajdid juga berarti membersihkan ajaran islam dari campur aduknya dengan
ajaran-ajaran yang bukan islam, atau dikenal di Muhammadiyah dengan penyakit
TBC (Tahayul, Bid’ah dan Khurafat). Penyakit ini sangat berbahaya bagi
perkembangan ajaran islam yang murni dan akan merusak aqidah islam.
#Sumber Dari Tugas Mata Kuliah UMMI SUKABUMI
Sejarah Kelahiran Muhammadiyah DI Indonesia
Reviewed by Screamer
on
07:30
Rating:
No comments: