KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah S.W.T yang menganugerahkan kepada kita
semua sumberdaya perikanan dengan potensi yang bernilai tinggi, untuk
dimanfaatkan secara berkelanjutan serta sebagai upaya dalam menjaga
kelestariannya. Sehubungan dengan itu,
penyusun tesis makalah yang berjudul “Budidaya Tiram Mutiara (Pinctada
maxima)”, sebagai tugas pada mata kuliah Dasar-dasar Budidaya dapat
diselesaikan.
Sangat disadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu diharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi
kesempurnaan makalah ini. Akhirnya, semoga apa yang tertuang dapat bermanfaat
bagi penyusun khususnya maupun mahasiswa fakultas perikanan lain pada umumnya.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Dalam dasawarsa terakhir ini banyak bermunculan pihak swasta yang
membuka usaha dibidang budidaya mutiara. Pesatnya perkembangan budidaya
tersebut disebabkan oleh besarnya potensi perairan Indonesia, yang sangat
memungkinkan untuk melakukan pengembangan budidaya.
Seiring dengan semakin bertambah banyaknya jumlah usaha budidaya
mutiara, maka kebutuhan akan induk yang siap operasi juga terus meningkat. Namun sayangnya pasokan induk dari alam
jumlahnya sangat terbatas, solusi yang dijalani oleh setiap perusahaan adalah
melakukan kegiatan pembesaran.
Permasalahan yang muncul yaitu kontinuitas dan jumlah benih atau spat
dari alam tidak dapat dipastikan. Alternatif utama yang dapat ditempuh adalah
melakukan penyediaan benih secara buatan melalui hatchery.
Induk yang baik merupakan syarat utama untuk produksi massal spat,
karena induk yang berkualitas akan mampu menghasilkan telur – telur berkualitas
pula. Muaranya, larva maupun spat yang
berasal dari telur berkualitas tinggi akan mempunyai kemampuan beradaptasi dan
kelangsungan hidup tinggi serta pertumbuhan yang baik. Tentu saja pencapaian tersebut perlu di
tunjang oleh beberapa factor pemeliharaan yang lain, seperti pakan dan kualitas
air atau pengelolaan air yang baik.
Kabupaten Lombok Timur memiliki sumberdaya alam (kelautan dan
perikanan) yang cukup besar sehingga kedepan menjadi harapan dalam upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Berbagai peluang investasi yang dapat dikembangkan di bidang Kelautan
dan Perikanan adalah investasi pada bidang Penangkapan , Budidaya Laut,
Budidaya Air Payau dan Budidaya Air Tawar. Ragam potensi budidaya kelautan dan
perikanan yang dapat dikembangkan lebih jauh dan berkelanjutan (Sustainable).
Selain potensi perikanan tangkap, laut Lombok Timur juga potensial
untuk kegiatan budidaya laut yaitu mutiara, ikan kerapu, udang lobster, rumput
laut, teripang dan kekerangan. Potensi budidaya mutiara 3.433,65 ha; ikan
kerapu 509,40 ha; udang lobster 525,68 ha; rumput laut 2.000,00 ha; teripang
194,00 ha; dan kerang - kerangan 179,50 ha.
Pemanfaatan potensi budidaya laut sampai dengan saat ini adalah
budidaya mutiara 1.805,50 ha; budidaya ikan kerapu 6,50 ha; budidaya udang
lobster 12,37 ha; budidaya rumput laut 232,58 ha; sedangkan potensi budidaya
teripang dan kerang - kerangan belum termanfaatkan (Anonymous, 2006)
Potensi pengembangan budidaya Mutiara cukup luas yaitu 2.394,50 ton
Ha dan baru di mamfaatkan 1.962,50 Ha dengan tingkatan produksi mencapai 0,20
ton. Permintaan Mutiara produksi Lombok sangat diminati baik oleh pembeli dalam
Negeri maupaun manca Negara karena mutiaranya memiliki keunikan tersendiri yang
membedakannya dengan produksi daerah lain.
1.2. Maksud dan Tujuan
Makalah ini disusun dengan maksud untuk meningkatkan pemahaman
Mahasiswa Fakultas Manajemen Sumberdaya Perairan Universitas Muhammadiyah Sukabumi , tentang apa, bagaimana teknik
pembudidayaan tiram mutiara. Sedangkan
tujuannya adalah sebagai bahan/materi perkuliahan pada mata kuliah Dasar –
dasar Budidaya, khususnya bagi kalangan Fakultas perikanan dilingkup Universitas Muhammadiyah
Sukabumi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Mutiara
Mutiara terbentuk akibat respon dari tiram untuk menolak rasa sakit
secara Konsentris akibat masuknya benda asing kedalam tubuhnya, lapisan
tersebut terdiri dari mineral yang diproduksi oleh tiram berupa cairan nacre
yang melapisi benda asing tersebut dengan cahaya berkilau. Tetapi bila lapisan terluarnya tidak terdiri
dari nacre, mutiara akan memperlihatkan warna – warni yang menggairahkan yang
biasa disebut “ORIENT” yang membuat mutiara bernilai tinggi dan mahal.
2.2
Pemeliharaan Induk
Pemeliharaan induk tiram mutiara dapat dilakukan di laut dengan
menggunakan rakit apung, long line atau di laboratorium bersama dengan kegiatan
pendederan dengan menggunakan pocket net atau pocket keranjang. Pada umumnya pemeliharaan induk dilakukan di
laut karena selain menghemat biaya, juga untuk pematangan induk kualitas akan
lebih baik dilakukan di alam, karena dapat memperoleh pakan yang lebih variatif
dengan nilai nutrient yang lebih lengkap. Pemeliharaan induk dilakukan dengan
tujuan menunggu agar induk matang gonad dan siap dipijahkan.
2.3 Penyediaan Induk
Tiram mutiara yang akan digunakan sebagai induk dapat berasal dari
alam dan hasil pembenihan. Induk yang
diambil dari alam biasanya perlu diaklimatisasi, karena induk tersebut
habitatnya berasal dari laut pada kedalaman 20 – 60 meter, dipindahkan ke
tempat budidaya yang lebih dangkal, sehinga tiram perlu menyesuaikan diri
dengan kondisi lingkungan hidup yang baru. Sedangkan induk yang berasal dari
hatchery biasanya langsung dapat dipijahkan, karena sudah terbiasa dengan
kondisi lingkungan budidayanya dan ukurannya seragam.
Induk tiram mutiara diaklimatisasi selama 1–2 bulan, dipelihara
menggunakan pocket keranjang dan digantung pada rakit apung dikedalaman 4– 6
meter. Satu pocket keranjang di isi 8 –
10 ekor tiram. Secara priodik antara 1 – 2 bulan sekali, induk dibersihkan dari
kotoran dan organisme yang menempel dengan menggunakan pisau dan sikat,
kemudian dimasukkan kembali ke dalam pocket keranjang yang bersih dan digantung
pada rakit dengan kedalaman 6 – 8 meter.
Apabila
kita mendapatakan atau mengambil induk dari luar daerah, maka yang harus
diperhatikan adalah ;
· Pengangkutan
atau pengiriman induk dapat dilakukan dengan menggunakan metode pengangkutan
kering (Dry method)
· Induk
dimasukkan pada kotak styropoam
· Lapisi
dasar styropoam dengan menggunakan handuk atau busa yang dibasahi air laut.
·
Susun induk secara sejajar dan searah (bagian anterior tiram yang satu ditindih
bagian dorsal tiram yang lain)
·Setiap
satu lapisan tiram diselingi dengan lapisan handuk atau busa yang dibasahi air
laut, begitu seterusnya hingga wadah penuh.
·
Selipkan Es batu air laut yang dibungkus plastic, untuk menjaga suhu rendah
agar tetap stabil selama perjalanan.
2.4 Pemeliharaan Induk di Laut
Pemeliharaan Induk di laut dengan mengisi pocket net atau keranjang
kawat dengan induk tiram, kemudian diikat dan digantung pada rakit atau long
line dengan kedalaman 5 – 8 meter, dan dalam setiap bulan tiram dibersihkan
dari organisme yang menempel pada cangkang tiram.
Untuk
menghindari adanya gangguan dari organisme pengebor (borring worn dan borring
sponge), maka setiap 2 – 3 bulan sekali perlu dilakukan perendaman dengan air
tawar atau larutan garam pekat. Calon
induk tiram yang direndam dalam larutan garam pekat, ternyata menunjukkan
pertumbuhan yang signifikan.
2.5 Pemeliharaan Induk di Laboratorium
Pemeliharaan Induk di Laboratorium berbeda dengan pemeliharaan
induk di laut, dimana pemeliharaan Induk di Laboratorium menggunakan bak yang
terbuat dari bahan fiber glass untuk menempatkan induk tiram, dengan suhu air
media antara 25 – 280C dan kondisi ruangan yang terkendali. Induk tiram diberi
pakan berupa campuran beberapa jenis alga dengan ratio 4 liter per ekor/hari,
sebagai pakan tambahan diberikan tepung jagung sebanyak 30 gram per ekor/hari.
Tiram dengan gonad matang penuh yang diberi formulasi pakan tersebut akan
menunjukkan respon memijah setelah 45 hari dari perlakuan dengan tingkat respon
30%.
2.6
Seleksi Induk
Untuk menyeleksi induk tiram dapat dilakukan di atas rakit atau di
laboratorium. Induk – induk tiram yang
akan di seleksi ditempatkan pada tempat yang datar dengan posisi tiram berdiri
atau dorsal di bawah. Beberapa saat kemudian
cangkan tiram akan terbuka dengan sendirinya, karena kekurangan olsigen.
Setelah cangkang tiram terbuka sebagian, segera gunakan alat
pembuka cangkang (Shellopener), agar cangkang tetap bertahan terbuka, maka
gunakan baji untuk mengganjal cangkang tersebut. Dan dalam proses pembukaan cangkang tiram
hendaknya jangan dipaksa, karena akan mengakibatkan pecahnya cangkang.
Langkah berikutnya adalah melihat posisi gonad, disini kita dapat
melihat posisi gonad dengan menggunakan alat Spatula. Dengan Spatula, insang tiram akan kita buka
dan posisi gonad akan terlihat jelas, maka secara fisual dapat kita ketahui
tingkat kematangan gonadnya. Kondisi
gonad yang mata penuh atau stadia IV adalah seluruh permukaan organ bagian
dalam tertutup oleh gonad, kecuali bagian kaki.
Klasifikasi
tiram yang memenuhi syarat untuk menjadi induk adalah ;
a.
Ukuran antara
17 – 20 cm (DVM)
b.
Cangkang
utuh/tidak cacat akibat serangan organisme pengebor (borring organism).
c.
Cangkang tidak
rusak karena penanganan yang kasar.
d.
Warna cangkang
terang.
Persyaratan yang paling penting adalah tingkat kematangan gonad,
induk yang baik kondisi gonadnya matang penuh atau stadia IV (Winanto dkk,
1991;1997;1998). Induk – induk yang telah memenuhi syarat seleksi segera dibawa
ke laboratorium untuk di pijahkan.
Seleksi kematangan gonad dilakukan setiap 1 (satu) bulan sekali
untuk memastikan bahwa induk tersebut siap dipijahkan atau tidak. Induk siap pijah akan terlihat warna
kekuningan pada kantong gonadnya bagi induk betina dan bagi induk jantan akan
terlihat warna putih susu.
2.7 Pemijahan
Induk tiram
mutiara yang digunakan untuk pemijahan berasal dari alam maupun dari hasil
budidaya yang dipelihara di rakit apung atau long line. Pemejihan secara alami
sering kali terjadi pada tiram yang telah dewasa, dalam kondisi gonad matang
penuh tiram akan segera memijah apabila terjadi perubahan lingkungan perairan
walaupun sedikit. Kemungkinan lain adalah shok mekanik yang terjadi karena perlakuan
kasar pada saat cangkang dibersihkan dan akibat mengalami perubahan perbedaan
tekanan, misalnya tiram alam atau tiram yang diambil dari habitat aslinya di
dasar perairan laut, lalu dibawa ke tempat budidaya yang relative dangkal,
sehingga memacu tiram untuk memijah.
Menurut Winanto (1991), mengatakan bahwa pemijahan juga bisa
terjadi pada waktu dilakukan penggantian air atau mengalirkan air ke dalam bak
pemeliharaan induk.
Rekayasa pemijahan perlu dilakukan, apabila secara alamiah tiram
tidak mau memijah di bak pemijahan, namun induk yang akan dipijahkan harus
memenuhi syarat untuk dipijahkan. Induk
tiram mutiara dapat dipijahkan di laboratorium dengan mengunakan metode
manipulasi lingkungan dan rangsang kimia.
2.8
Metode Manipulasi Lingkungan
Metode manipulasi lingkungan yang digunakan dan resiko
keberhasilannya relatif tinggi yaitu dengan menggunakan metode kejut suhu
(Thermal shock), fluktuasi suhu dan ekspose.
Beberapa teknik tersebut telah berhasil dilakukan oleh Loosanolp dan
Davis (1963), Imai (1982), CFMRI (1991) dan Winanto dkk (1992;1995;1997;1998).
Kejut suhu merupakan metode yang umum digunakan, dalam teknik ini
suhu air tempat pemijahan dinaikkan secara bertahap dengan bantuan alat
healter, dari suhu awal 280C menjadi 350C.
Induk – induk biasanya akan memijah setelah 60 -90 menit dari perlakuan,
mula – mula terlihat induk bereaksi cepat membuka dan menutup cangkang. Menjelang pemijahan induk akan membuka
cangkang lebar – lebar dan keluarlah sel –sel gonad yang terlihat seperti
keluarnya asap berwarna putih.
Metode manipulasi lingkungan yang lain yaitu flutuasi suhu, jika
suhu air di tempat pemijahan mulanya sekitar 280C ditingkatkan mejadi 33 -
350C, jika tiram belum memijah setelah 60 – 90 menit, maka suhu diturunkan
kembali ke suhu awal, demikian seterusnya sampai induk memijah.
Metode ekspose juga sering digunakan dan ada kalanya dikombinasikan
dengan metode kejut suhu, induk yang akan dipijahkan dikeluarkan dari dalam air
selama 15 – 30 menit, pada kondisi tertentu kadang – kadang tiram perlu
diekspose sampai sekitar 30 – 60 menit atau tergantung pada kondisi induk
tiram. Setelah masa ekspose, induk dimasukkan kembali ke dalam bak pemijahan,
induk yang matang gonad penuh biasanya akan cepat memijah. Pemijahan bisa tidak terjadi jika kondisi
gonad belum mencapai matang penuh, pada kondisi ini dapat dikombinasikan dengan
metode kejut suhu.
2.9 Rangsang Bahan Kimia
Pengunaan bahan kimia juga sering dilakukan untuk memijahkan tiram
mutiara, tetapi hasil pembuahan (fertilisasi) biasanya kurang baik. Seperti halnya pada manipulasi lingkungan,
pengunaan bahan kimia juga bertujuan merubah lingkungan mikro tempat
pemijahan. Secara ekstrim bahan kimia
dapat dengan segera merubah pH air menjadi asam atau basa, yang bertujuan
memberikan shock fisiologis pada induk sehingga terpaksa mengeluarkan sel – sel
gonadnya. Jenis bahan kimia yang umum digunakan antara lain ;
* Hidrogen Peroksida (H2O2)
* Natrium Hidroksida (NaOH)
* Amonium Hidroksida (NH4OH)
* Amoniak (NH4) dan
* Trace buffer
Hidrogen peroksida dan amoniak pada konsentrasi 1,532; 3,064 dan
6,128 milimolar dilarutkan ke dalam air laut normal atau air laut dengan pH
9,1. Larutan tris (Tris buffer) atau
Natrium hidrosida (NaOH) digunakan untuk merubah pH air menjadi 8,5; 9,0; 9,5
dan 10, ternyata dapat merangsang induk memijah. Pada pH 9 dengan tris buffer dapat merangsang
pemijahan sampai 78,6%, sedangkan pH 9,5 dengan NaOH berhasil memijahkan tiram
sekitar 68,4%. Penyuntikan larutan
Amonium hidroksida (NH4OH) 0,2 ml ke dalam otot adductor berhasil merangsang
pemijahan sampai 48%.
Beberapa perusahaan tiram mutiara di Indonesia dalam memijahkan
biasanya menggunakan bahan kimia amoniak atau rangsangan sel gonad –
jantan. Teknik pemijahan rangsang
gonad/sperma, dilakukan dengan cara menyeleksi induk tiram mutiara jantan yang
matang gonad penuh kemudian dimatikan.
Caranya, cangkang tiram dibuka dengan menggunakan alat pembuka cangkang,
kemudian otot adductornya dipotong dengan pisau, dagingnya dikeluarkan dengan
hati – hati. Mantel dan insang dibuang, sehingga hanya tinggal bagian tubuh
yang berisi gonad, bagian tersebut disayat – sayat dan dimasukkan ke dalam
beker glass yang telah diisi air laut bersih, lalu diaduk hingga larut. Larutan gonad/sperma tersebut disaring dan
dimasukkan ke dalam bak pemijahan, sehingga induk – induk akan terangsang untuk
memijah. Namun, sebaiknya kedua cara itu
tidak dilakukan, karena selain tingkat fertilisasinya rendah (feconditas
rendah), biasanya banyak telur yang abnormal serta akan menguras isi gonad,
sehingga telur – telur yang masih prematurpun akan ikut keluar.
Penggunaan bahan kimia dengan konsentrasi tinggi hampir sama dengan
tindakan aborsi, sehingga kurang menguntungkan bagi kesehatan induk. Tindakan pemijahan dengan rangsang gonad
sebenarnya tidak dianjurkan, karena teknologi pemijahan yang ada lebih
diarahkan untuk masyarakat nelayan dan pesisir, sehingga induk merupakan aset
yang sangat berharga disamping harganya relative mahal.
2.10 Proses Pemijahan dan Pembuahan
Selama prosesi pemijahan, induk jantan biasanya memijah terlebih
dahulu baru diikuti induk tiram betina.
Pengamatan yang dilakukan di Balai Budidaya Laut mencatat, bahwa induk
betina (Pintada maxima) mengeluarkan sel – sel telur sekitar 25 – 30 menit
setelah induk jantan memijah. Pembuahan
terjadi di luar tubuh (eksternal) di
dalam media air dan pembuahan terjadi segera setelah sel telur dan sperma
keluar. Telur – telur yang belum dibuahi
bentuknya menyerupai biji jeruk, sedangkan yang telah dibuahi berbentuk bulat
dengan diameter antara 56 – 65 mikron.
Setelah semua telur dibuahi sesegera mungkin dipanen, dikumpulkan
dengan menggunakan saringan bertingkat (Planktonnet) berukuran dari 100 µ atau
80 µ, 40 µ dan 20 µ. Selain itu
berfungsi sebagai tempat penampungan telur – telur, saringan juga bermanfaat
untuk memisahkan antara kotoran dengan telur. Telur – telur yang telah
terkumpul kemudian dibilas dengan air laut bersih dan dipindahkan ke dalam bak
penetasan atau langsung ke bak pemeliharaan larva dijadikan satu, pada kasus
ini priode penggantian air harus benar – benar diperhatikan, dan padat
penebaran awal berkisar antara 5 – 7 sel/cc.
2.11
Pemeliharaan Larva
Salah satu kegiatan yang paling menyita perhatian dan sangat
menentukan dalam kegiatan pembenihan tiram mutiara adalah pemeliharaan larva.
Priode pemeliharaan larva sebenarnya dimulai sejak larva stadia D, atau setelah
berakhirnya stadia trocopore sampai stadia pediveliger atau plantigrade.
Kegagalan
sering kali terjadi dalam produksi spat, karena penanganan pemeliharaan larva
yang kurang baik, utamanya pada saat larva mengalami saat – saat kritis. Di dalam pengelolaan pemeliharaan larva
sangat perlu diperhatikan kondisi kualitas air; teknik serta priode penggantian
air; jenis, jumlah dan teknik pemberian pakan; jenis, jumlah dan waktu
pemasangan spat kolektor. Jika beberapa factor tersebut diperhatikan, maka
produksi spat akan berhasil seperti apa yang kita harapkan.
2.12 Proses Perkembangan Awal
Proses pembelahan sel terjadi setelah 40 menit dari pembuahan atau
setelah penonjolan polar I, polar II.
Lima menit kemudian sel mulai terbelah menjadi dua, 13 menit kemudian
sel membelah menjadi empat, pemebelahan berikutnya menjadi 8 sel, 16 sel dan
sel terus membelah menjadi multi sel atau stadia morula setelah 2,5 jam, pada
setiap mikromernya berkembang silia kecil yang berfungsi untuk membantu embrio
bergerak. Stadia blastula dicapai
setelah larva berumur 3,5 jam, gerakannya aktif berputar – putar. Pada stadia gastrula (7 jam) bentuknya
seperti kacang hijau, bersifat fhoto negative dan bergerak dengan mengunakan
silia (Alagarswami, at al, 1983).
Beberapa menit setelah silia menghilang, maka berakhirlah fase
gastrula dan mengalami metamorfose menjadi trochopore, ditandai dengan adanya
flagella tunggal pada bagian anterior yang berfungsi untuk bergerak.
2.13
Perkembangan dan Pemeliharaan Larva
Stadia veliger atau larva bentuk D (D shape) dicapai setelah larva
berumur 18 – 20 jam dan berukuran 70x80 mikron.
Pada stadia ini, larva sudah mulai diberi makanmikro alga Isochrysis
galbana atau P. lutheri, jumlah pakan antara 3000 – 4000 sel/cc/hari diberikan
dua kali (pagi dan sore). Menurut Brusca
(1990), larva stadia veliger bersifat fhoto
fositif, sehingga nampak berenang – renang disekitar permukaan air.
Menurut CMFRI (1991) dan Alagaswami at al, (1983), pada stadia awal
larva (D shape) sampai stadia umbo diberi pakan phytoplankton spesies
Isochrysis galbana dengan kepadatan 5000 sel/ekor/hari. Sedangkan menurut Baker (1994) member pakan
jenis Isochrysis galbana strain Tahiti terhadap larva dengan kepadatan 20.000
sel/ml.
Setelah 12 – 14 hari larva mengalami metamorphose menjadi stadia
umbo (130 x 135 mikron), ditandai dengan adanya tonjolan (umbo) pada bagian
dorsal. Padat penebaran larva mulai
dikurangi setelah mencapai stadia umbo, dengan jumlah 5 – 7 ekor/cc. Pakan yang diberikan ditambah menjadi 3000 –
4000 sel/cc/hari, aplikasinya dapat divariasi campuran antara Isochrysis
galbana dan P. lutheri dengan perbandingan 1 : 1. Flagelata Isochrysis galbana merupakan jenis
pakan yang paling baik bagi larva bivalvia di daerah tropis (Ver, 1981).
Menurut Winanto dan Dhon (1998), Larva yang sehat dicirikan oleh
aktifitas gerak, distribusi dan warna bagian perutnya. Larva yang sehat nampak bergerak aktif
berputar dengan menggunakan silianya, mereka akan menyebar merata terutama pada
bagian lapisan permukaan dan tengah, sedangkan yang berada dibagian bawah
kondisinya kurang baik. Secara
mikroskopis, larva yang sehat akan aktif memburu pakan sehingga bagian perutnya
berwarna kuning tua, larva yang cukup akan (sedang) bagian perutnya berwarna
kuning dan larva yang tidak mau makan perutnya berwarna kuning muda.
Menurut Loosanoff dan Davis (1963), bahwa warna larva dapat
bervariasi tergantung dari jenis pakan yang dikonsumsi, tetapi larva yang sehat
biasanya berwarna coklat keemasan, terutama dibagian saluran pencernaan
(Digestive diverticulum). Pada stadia
awal, warna larva dapat berubah nyata bila mengkonsumsi pakan dengan warna yang
berbeda. Namun, seiring dengan pertumbuhan
larva dan cangkangnyapun semakin bertambah tebal, maka pengaruh warna pakan
tidak terlihat lagi.
Selama pemeliharaan larva, media air yang digunakan sebaiknya
diperlakukan melalui sinar ultra violet, sehingga larva dapat terhindar dari
infeksi jamur dan membunuh spora atau bakteri, serta kompititor yang hidup
bersama di media pemeliharaan. Untuk
menjaga kualitas air, maka perlu dilakukan penggantian air setiap 2 – 3 hari
sekali sebanyak 50 – 100 %.
Setelah larva mencapai stadia pediveliger atau umbo akhir, berumur
antara 18 – 20 hari dan berukuran 200 – 190 mikron, larva mulai mencari tempat
untuk menetap. Fase transisi atau fase
akhir kehidupan planktonis larva terjadi pada hari ke 20 – 22, atau disebut stadia
platigrade. Larva plantigrade ditandai
dengan tumbuhnya cangkang baru disepanjang periphery, benang – benang bisus
diproduksi untuk menempelkan diri pada substrat dan larva berukuran sekitar 200
x 230 mikron.
Menurut Segal (1990), menyatakan bahwa pada saat larva mengalami
metamorphose dan fase menetap, merupakan masa kritis yang cukup ekstrim selama
masa hidupnya. Sedangkan Bayne
(1976) menyatakan bahwa aksi penempelan
yang ditunjukkan oleh larva pediveliger merupakan gerakan menurun, dari stadia
planktonis yang berada disekitar permukaan ke dasar perairan, disertai dengan
gerakan berenang dan kebiasaan berputar – putar dan akhirnya mengeluarkan
benang bisus untuk menempel pada substrat.
Hal inilah yang menandai dimulainya kehidupan bentik atau menetap di
dasar. Jika tidak menemukan substrat
yang cocok, larva biasanya akan cenderung menunda priode metamorfosenya.
Penempelan adalah proses tingkah laku yang ditunjukkan oleh larva
stadia akhir. Awalnya larva menggunakan
kakinya untuk berenang dan bergerak perlahan – lahan saat akan menempel pada
substrat. Jika jenis substrat yang
ditempeli cocok maka larva akan menetap, selanjutnya akan terjadi proses
metamorphose dari larva berubah menjadi spat (Juvenil). Secara keseluruhan proses ini disebut
menempel (setting) atau spatfall, yang merupakan fase kritis dalam siklus hidup
tiram. Identifikasi dari factor – factor
yang mempengaruhi keberhasilan fase menempel atau spatfall akan sangat
bermanfaat atau dapat memberikan informasi tentang prosedur yang lebih efisien
dalam pengembangan hatchery.
2.14.
Pendederan
Priode spat merupakan awal dari kehidupan menetap tiram. Pada stadia ini sangat dibutuhkan substrat
yang cocok untuk menempel, kondisi awal spat merupakan masa yang sangat kritis,
karena bisusnya belum permanen, titik kritis terjadi pada pada D 40 sampai
dengan ukuran 3 cm dengan SR 5%. Bila
ada gerakan air yang sangat kuat, ada kemungkinan bisusnya akan putus, namun
bisus akan segera disekresikan kembali.
Tetapi jika saat bisus putus dan spat jatuh ke dasar bak pemeliharaan,
maka ada kemungkinan spat akan mati karena di dasar bercampur dengan kotoran
maupun substansi lain yang kurang baik bagi kelangsungan hidup spat.
Pemeliharaan spat sebenarnya tidak sulit, bahkan boleh dikatakan
jika masa pemeliharaan spat sudah melewati dua minggu pasti spat akan
hidup. Penanganan yang ekstra hati –
hati pada awal pertumbuhan spat sangat diperlukan. Setelah spat menempel dengan bisus permanen,
keadaannya tidak perlu dikhawatirkan lagi, karena pengelolaan air dapat
dilakukan dengan system sirkulasi.
Pada umumnya spat yang berumur 2 – 3 bulan atau ukuran 5 – 10 mm
DVM dapat dipindahkan ke tempat pembesaran di laut setelah 1 bulan dipelihara
di laboratorium. Benih yang masih
menempel pada kolektor dimasukkan ke dalam pocket net dan dibungkus dengan waring
(# 2 – 3 mm), untuk mencegah gangguan predator (jenis ikan Ostraciidae,
Monacanthidae dan Blenidae) dan mengurangi menempelnya kotoran. Ukuran mata waring yang lebih kecil kurang
efektif untuk tingkat kelangsungan hidup, dapat menghambat pertumbuhan dan
sulit membersihkan. Setelah benih
mencapai ukuran 2 – 3 cm mulai dijarangkan, dipelihara secara individu di dalam
pocket net. Pada ukuran 2 – 3 cm benih
sudah dapat dijual atau dibesarkan hingga mencapai ukuran yang memenuhi syarat
untuk mudidaya mutiara yaitu ukuran 15 cm DVM.
Pendederan tiram mutiara menggunakan dua metode yaitu metode rakit
dan long line. Adapun kegiatan yang harus dilakukan selama pemeliharaan adalah
pembersihan dan penjarangan serta seleksi menurut ukuran.
Dalam
satu siklus pendederan memerlukan waktu selama 10 bulan dengan ukuran spat
mencapai rata – rata 0,7 – 1 cm per bulan.
2.15
Teknik Penyuntikan Tiram Mutiara
Dalam
penyuntikan tiram mutiara perlu persiapan yang harus diperhatikan yaitu ;
Seleksi tiram, pemuasaan dan persiapan alat/bahan Insersi
2.15.1 Seleksi Benih siap
Operasi
Sebelum
melaksanakan operasi atau penyuntikan, terlebih dahulu benih tiram diseleksi. Tiram yang akan di operasi harus memenuhi syarat yaitu, berumur 1,5 – 2 tahun
dan berukuran 10 – 15 cm, serta tiram dalam kondisi sehat atau tidak cacat dan
dalam keadaan bersih.
2.15.2 Pemuasaan (Yokusei)
Tiram
yang akan dioperasi terlebih dahulu dilakukan pemuasaan (Yokusei), yang
tujuannya adalah untuk mengurangi jumlah plankton yang dimakan agar tubuh tiram
menjadi cukup lemas, dengan cara ini pada saat operasi tiram tersebut tidak
terlalu kuat mengadakan reaksi terhadap sakitnya sayatan pada gonadnya.
Benih
tiram yang di Yokusei, dimasukkan ke pocket keranjang lalu dibungkus
menggunakan waring ukuran 1 mm. Pemuasaan dilakukan selama 3 – 5 hari, setelah
itu tiram diangkat dari perairan dan pembungkus dibuka, baru kemudian memulai
penyuntikan.
2.15.3 Alat dan Bahan
Insersi
Ada
beberapa alat dan bahan yang harus dipersiapkan sebelum melakukan operasi yaitu
;
2.15.4 Alat Operasi
a.
Hikake
(Penahan)
b.
Piseto
c.
SONYUKI dan
SHAIBO OKURI (Pemasuk Inti dan pemasuk mantel)
d.
MESU (pisau
operasi)\
e.
DONYUKI (pembuka
torehan)
f.
SONYUKI
(pembuka mantel
g.
HERA dan KAI
KOKI (pembuka mantel dan Forcep)
h.
SHAIBOHASAM
(Gunting,pemotong mantel)
2.15.5 Bahan Insersi
a.
Siput donor
b.
Siput siap
operasi
c.
Nukleus
d.
Kegiatan
Insersi
e.
Pemotongan
mantel
f.
Pengambialan
Inti
g.
Pemasukan Inti
2.15.6 Pemeliharaan Tiram
Pasca Pemasukan Inti
Setelah pemasangan inti selesai dilakukan, segera masukkan kembali
tiram yang sudah dioperasi ke dalam pocket keranjang dan digantung di rakit
pemeliharaan atau harus dengan segera dimasukkan ke dalam air dengan perlakuan
yang sangat hati – hati untuk diistirahatkan.
Selama ± 3 bulan setelah pemasangan inti, dalam 3 hari sekali
posisi tiram dibolak balik, itu biasanya di sebut masa Tento, yaitu posisi
tiram yang tadinya domersal, tiga hari kemudian dibalik ke posisi samping, tiga
hari berikutnya menghadap kebawah, begitu seterusnya selama masa tento. Dan
kebersihannya tetap dijaga dari gangguan organisme.
Setelah masa pemeliharaan 18-24 bulan, panen dapat dilakukan dengan
terlebih dahulu pengambilan contoh untuk memperkirakan besarnya ukuran mutiara
yang diinginkan. Biasanya ditemukan bentuk–bentuk mutiara yang tidak bundar
sempurna, bahkan ada bentuk lonjong barouk dan bintik-bintik/spol, hal ini
dapat terjadi karena kurang cermatnya penanganan dalam masa pemeliharaan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Potensi pengembangan budidaya Mutiara cukup luas yaitu 2.394,50 ton
Ha dan baru di mamfaatkan 1.962,50 Ha dengan tingkatan produksi mencapai 0,20
ton. Permintaan Mutiara produksi Lombok sangat di minati baik oleh pembeli
dalam Negeri maupaun manca Negara karena mutiaranya memiliki keunikan
tersendiri yang membedakannya dengan produksi daerah lain.
Mutiara terbentuk akibat respon dari tiram untuk menolak rasa sakit
secara Konsentris akibat masuknya benda asing kedalam tubuhnya, lapisan
tersebut terdiri dari mineral yang diproduksi oleh tiram berupa cairan nacre
yang melapisi benda asing tersebut dengan cahaya berkilau.
Pemeliharaan induk tiram mutiara dapat dilakukan di laut dengan
menggunakan rakit apung, long line atau di laboratorium bersama dengan kegiatan
pendederan dengan menggunakan pocket net atau pocket keranjang.
DAFTAR PUSTAKA
Alagarswami,
at al, 1983. Larva Rearing and Productionof Spat of Pearl Oyster Pinctada
fucata Gould). Aquacultur 3.Elsivier Science Publisher.B.V.Amsterdam.
Pg.287-301.
Anonymous,
2006. Potensi Sumberdaya Perikanan Kabupaten Lombok Timur.
Bayne,
1976. Mutiara, Lembaga Penelitian
Perikanan Laut. Jakarta.Brusca, 1990.
Merine
Ecology. Baker, 1994.
CMFRI,
1991. Pearl Oyster Farming and Pearl
Cultur. Training Manual No.8. Regional Seafarming Development and Demonstration
Project. RAS/90/002. Bangkok, Thailand. 103 p.
Loosanoff,
V dan Davis, H., 1963. Rearingof Bivalve Mollusks. US Beureuof Commercial
Fisheris Biological Laboratory. Mildford, Connecticut. 130 p.
Segal,
E., 1990. Light, Animal,
Invertebrates.Merine Ecology, A Comprehensive, Integrated Treatise on Life in
The Oceans and Coatal Waters. Vol I.Environmental Factors.PartI.
Wiley-Interscience.London,Pg: 159-212. Ver, 1981
Winanto,T.,
1991. Pembenihan Tiram Mutiara. Buletin Budidaya Laut no.1. Balai Budidaya
Laut. Lampung
Winanto,T
dan S.Basi Dhon., 1998. Rekayasa Teknologi Pemeliharaan Larva Tiram Mutiara
(Pinctada maxima). Pertemuan Koordinasi dan Pemantapan Rekayasa Teknologi
Pembenihan Lintas UPT, Ditjen. Perikanan, Maret 1998. Puncak, Bogor.
MAKALAH BUDIDAYA TIRAM MUTIARA
Reviewed by Screamer
on
03:40
Rating:
Berapapun Kemenangan Bosku Pasti Akan Kami Bayar dan Kita Proses Dengan Cepat !!!
ReplyDeleteHanya Disitus MARIO QQ Yang Memberikan JACKPOT dan BONUS TURN OVER Yang FANTASTIS Loh !!! Ayo Tunggu Apalagi Buruan Daftarkan dan Mainkan
Langsung Disitus Resmi MARIO QQ Dibawah Ini melalui :
WHATSAPP +62 821-4331-1663
Link Alternatif :
- www.marioqq88. club
- www.marioqq88. org