MAKALAH BUDIDAYA UDANG PUTIH
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
belakang
Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) di sebut juga dengan udang
putih yang merupakan sumber daya ikan golongan Crustacea. Udang ini merupakan
spesies asli dari perairan Amerika Tengah. Resmi diperkenalkan dan dibudidayakan
di Indonesia pada tahun 2000. Hal yang menggairahkan kembali pada usaha
pertambakan di Indonesia pada saat ini yang sebelumnya mengalami kegagalan
budidaya akibat serangan penyakit bintik putih (white spot) pada budidaya udang
windu (Penaeus monodon). Penyebaranya meliputi Pantai Pasifik, Meksiko, Laut
Tengah dan Selatan Amerika. Wilayah dengan suhu air secara umum berkisar di
atas 20 derajat celcius sepanjang tahun dan merupakan tempat populasi udang
vanname berada.
Udang vannamei digolongkan ke dalam genus Penaid pada filum
Artrhopoda. Terdapat ribuan spesies dari filum ini, namun yang mendominasi
perairan berasal dari subfilum Crustacea. Ciri ciri subfilum Crustacea,
mamiliki 3 pasang kaki berjalan yang berfungsi untuk mencapit, terugtama dari
ordo Decapoda, seperti Litopenaeus shinensis, Litopenaeus indicus, Litopenaeus
japonicus, L. monodon, Litopenaeus stylirostris dan Litopenaeus vannamei.
Vannamei termasuk dalam crustacea yang tergolong dalam ordo
Decapoda seperti halnya lobster dan kepiting serta udang udang lainnya. Kata
Decapoda berasal dari kata deca = 10, poda = kaki, hewan ini juga memiliki
karapas yang berkembang menutupi bagian kepala dan dada menjadi satu
(chepalothorax). Famili Penaeidae yang menetaskan telurnya di luar tubuh, setelah
dikeluarlakan oleh betina dan udang ini juga mempunyai tanduk (rostrum).
Genus penaeus yang ditandai dengan adanya gigi pada bagian atas dan
bawah rostrum juga ditandai dengan hilangnya bulu cambuk (satae) pada tubuhnya.
secara khusus udang ini memiliki 2 gigi pada tepi rostrum bagian ventral dan
8-9 gigi pada tepi rostrum bagian dorsal. Subgenus Litopenaeus, yang ditandai
dengan adanya organ seksual (thelycum) yang terbuka tanpa adanya tempat
penampung sperma pada spesies betina.
Udang vannamei termasuk golongan hewan omnivora yaitu memakan
segala, baik dari bahan hewani maupun nabati. Beberapa sumber makanannya antara
lain udang kecil (rebon), fitoplankton, copepoda, polychaeta, larva kerang dan
lumut.
Meraka mencari dan
mengidentifikasi makanannya menggunakan sinyal kimiawi berupa getaran dengan
bantuan organ sensor. Organ sensor ini terpusat pada ujung anterior antenula,
bagian mulut, capit, antena dan maxilliped. Dengan bantuan sinyal kimiawi
kimiawi yang di tangkap, udang akan merespon untuk mendekati atau menjauhi
sumber pakannya.
Untuk mendekati sumber pakannya, udang akan berenang menggunakan
kaki jalan yang memiliki capit. Pakan langsung yang didapatkannya langsung di
kepit mnggunakan kaki jalannya kemudian di masukan kedalam mulut. Pakan yang
berukuran kecil akan masuk kedal keronggkongan dan ensophagus. Bila pakan yang
dikonsumsi berukuran lebih besar, akan dicerna secara kimiawi terlebih dahulu
oleh maxilliped di dalam mulutnya. Udang akan berhenti makan apabila mereka
sudah kenyang.
Semua golongan arthropoda termasuk udang mengalami pergantian kulit
atau disebut dengan molting secara periodik, sehingga ukuran tubuhnya bertambah
besar. Agar udang bisa tumbuh menjadi besar, secara periodik mereka akan
melepaskan jaringan penghubung antara epidemis dan kutikula ekstraseluler,
udang segera melepaskan diri dari kutikula atau cangkang, kemudian menyerap air
untuk memperbesar tubuh dan eksoskeleleton yang baru dan selanjutnya terjadi
proses pengerasan dengan mineral-mineral protein.
Proses molting pada udang akan menghasilkan peningkatan ukuran
tubuhnya (pertumbuhan) secara kontinyu dan secara berkala. Ketika molting tubuh
udang menyerap air dan bertambah besar, kemudian terjadi pengerasan kulit.
Setelah kulit luarnya keras, tubuh udang tetap sampai pada siklus molting
berikutnya.
Dalam kondisi molting, udang sangat rentan terhadap serangan
udang-udang lainnya, karena disamping kondisinya sangat lemah kulit luarnya
belum mengeras. Udang pada saat milting mengeluarkan cairan molting yang
mengandung asam amino, enzim dan senyawa organik hasil dekomposisi parsial
eksoskeleton yang baunya merangsang nafsu makan udang. Hal tersebut bisa
membangkitkan sifat kanibalisme udang yang sehat.
Udang vannamei merupakan salah satu jenis udang introduksi yang
diminati oleh petambak budidaya saat ini, karena memiliki keunggulan seperti
tahan penyakit, pertumuhan cepat (masa pemeliharaan 100-110 hari), sintasan
selama pemeliharaan tinggi dan nilai konversi pakannya rendah (FCR 1:1,3).
Udang vannamei umumnya dibudidayakan secara intensif dan semi
intensif. Pada salah satu sumber dituliskan dalam hasil kajian menunjukan bahwa
vannamei juga dapat diproduksi dengan pola tradisional. Ukuran panen yang
dihasilkan lebih besar sehingga harga perkilo gramnya menjadi lebih mahal
(kkp.go.id).
Udang vannamei (Litopenaeus vannamei) merupakan komoditi yang cukup
diminati oleh petambak. Kehadiran varietas udang vannamei diharapkan tidak
hanya menambah pilihan bagi petambak tetapi juga menopang kebangkitan usaha
pertambakan udang di Indonesia. Dahuri merinci, udang vannamei memiliki
sejumlah keunggulan antara lain lebih tahan penyakit, pertumbuhan lebih cepat,
tahan terhadap gangguan lingkungan dan waktu pemeliharaan yang lebih pendek
yaitu sekitar 90 – 100 hari dan yang lebih penting tingkat survival ratenya
tergolong tinggi dan hemat pakan (Harian Bisnis Indonesia, 2002).
Dengan penggunaan probiotik yang baik, cara aplikasi yang benar
diharapkan dapat memantapkan keberhasilan budidaya udang di tambak sehingga
kematian udang yang menjadi masalah utama dapat ditekan semaksimal mungkin
untuk meningkatkan SR yang lebih tinggi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Biologi Udang Vannamei
2.1.1. Taksonomi Udang Vannamei
Menurut
Elovaara (2001) taksonomi udang vannamei adalah sebagai berikut :
Phylum : Arthropoda
Class : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Family : Penaeidae
Genus : Lito penaeus
Species : Litopenaeus vannamei
2.1.2. Morfologi Udang Vannamei
bentuk tubuh yaitu terbagi menjadi tiga bagian antara lain : bagian
kepala dan dada (Cephalothorax), badan (abdomen) dan ekor. Sedangkan
bagian-bagian tubuhnya terdiri dari rostrum, sepasang mata, sepasang antenna,
sepasang antennule bagian dalam dan luar, tiga buah maxiliped, lima pasang kaki
jalan (periopoda), lima pasang kaki renang (pleopoda), sepasang telson dan
uropoda.
Udang vannamei mempunyai rostrum yang menyerupai lengan pada bagian
ujung chepalothorax di atas mata dan antennule. Rostrum udang vannamei
mempunyai gigi bagian atas berjumlah 2 - 4 buah dam gigi bagian bawah berjumlah
5 - 8 buah yang panjang melebihi tangkai antennule karapasnya
2.1.3. Kebiasaan dan Tingkah Laku Udang Vannamei.
Sifat-sifat penting udang vannamei (Litopenaeus vannamei) menurut
Haliman dan Adijaya (2005) adalah sebagai berikut :
Aktif pada kondisi gelap (nocturnal).
Suka memangsa sesama jenis (kanibal)
Tipe pemakan lambat, tetapi terus menerus (
continous feeder).
Menyukai hidup di dasar (bentik).
Mencari makan lewat sensor (hemoreceptor).
Dapat hidup pada kisaran salinitas lebar
(euryhalyne).
- Ganti kulit (moulting)
Udang mempunyai kerangka luar yang keras (tidak elastis). Oleh
karena itu, untuk tumbuh menjadi besar udang perlu membuang kulit lama dan
menggantinya dengan kulit yang baru.
2.2.
Probiotik
Penanaman probiotik di tambak sebagai salah satu upaya agar terjadi
dominasi bakteri pilihan yang bermanfaat di dalam air dan tanah dasar, sehingga
mengurangi kepadatan bakteri pathogen sebagai penyebab penyakit udang.
Penggunaan probiotik (bakteri pengurai) bermutu baik diikuti cara
aplikasi yang benar dan dibarengi dengan menghindari pemakaian obat-obatan yang
tidak baik dapat membantu penguraian timbunan bahan organik di dasar tambak,
menstabilkan kondisi air tambak, memperlancar proses pencernaan udang dengan
dampak akhir hasil panen yang stabil pula.
2.3 Kegiatan
Budidaya Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)
2.3.1. Persiapan Tambak.
Tambak sebagai media budidaya perlu dipersiapkan sebelum memulai
usaha budidaya udang vannamei. Persiapan tambak bertujuan membantu proses
oksidasi yang dapat menetralkan sifat keasaman tanah, menghilangkan gas-gas
beracun dan membantu membunuh telur-telur hama yang tertinggal. Persiapan
tambak meliputi pengeringan dasar tambak, pengapuran dan pemupukan (Haliman dan
Adijaya, 2005).
2.3.2 Pengeringan Tambak
Budidaya udang dimulai dengan kegiatan pengeringan tambak. Dasar tambak
dikeringkan, sehingga retak-retak. Selama pengeringan, sisa-sisa klekap, lumut
dan tumbuhan lain dibuang dan dibersihkan. Pengeringan lahan tambak selama 2 –
3 minggu, tergantung dari keadaan cuaca
2.3.3 Pengapuran
Kapur berfungsi meningkatkan kapasitas penyangga air dan
menstabilkan pH. Beberapa jenis kapur yang bisa digunakan untuk pengapuran
tambak menurut Haliman dan Adijaya (2005) yaitu, kapur pertanian (Crushed
chell, CaCO3), kapur mati (Slaked lime, Ca(OH)2) dan dolomit (Dolomital lime,
CaMg (CO)3). Dosis penggunaan kapur berturut-turut yaitu 100 – 300 kg/ha untuk
CaCO3, 50 – 100 kg/ha untuk kapur mati dan 200 - 300 kg/ha untuk dolomit.
2.3.4 Pemupukan
Pupuk berfungsi sebagai penyedia nutrisi bagi udang selama
dibudidayakan. Pupuk organik antara lain bungkil biji teh, saponin dan pakan
rusak. Sementara pupuk anorganik yang bisa digunakan yaitu urea dan TSP (SP
36). Saponin dan bungkil teh berfungsi sebagai pupuk dan bahan racun untuk
membunuh ikan lain yang mengganggu atau merugikan udang vannamei. Sebelum
digunakan, saponin dan bungkil biji teh perlu digiling sampai halus, kemudian
direndam dalam air selama 24 jam. Hasil rendaman tidak perlu disaring karena
ampas bungkil teh bisa digunakan sebagai pupuk (Haliman dan Adijaya, 2005).
2.3.5 Pengisian Air
Sebelum dilakukan pengisian air, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan seperti pemasangan filter air pada pintu pemasukan yang bertujusn
untuk menyaring ikan beserta telurnya dan organisme-organisme lain yang menjadi
pengganggud, penyaing, bahkan sebagai pemangsa udang yang dipelihara.
Pemberantasan Hama
Untuk
memberantas hama maka diberikan saponin 10 – 12 ppm, kemudian tambak dibiarkan
selama 2 – 3 hari agar reaksi saponin berkurang dan hilang.
2.3.6 Penumbuhan Plankton
Menurut Suyanto
dan Mujiman (2002), beberapa perlakuan yang diberikan untuk membantu
mempercepat pertumbuhan plankton antara lain dengan pemupukan. Untuk
menumbuhkan plankton ada beberapa persyaratan yaitu adanya bibit plankton di
dalam air baik dari alam maupun dari penebaran yang sengaja dilakukan,
memeberikan jenis pupuk yang sesuai dengan jenis plankton. Ada dua macam pupuk
yang digunakan, yaitu pupuk organik dan anorganik. Pupuk organik antara lain
bungkil biji teh, saponin dan pakan rusak. Sementara pupuk anorganik yang bisa
digunakan seperti urea, TSP dan lain-lain. Dosis pupuk urea yang digunakan 10 –
20 kg/ha, sedangkan untuk pupuk TSP 5 – 10 kg/ha.
Warna coklat kemerahan berarti air ditumbuhi oleh Phito flagellata
Sedangkan warna air yang baik yaitu hijau muda yang berarti ditumbuhi oleh
Chloropyta, kecerahan 35 cm, plankton ini baik dan perlu dipertahankan.
2.3.7 Pemberian Fermentasi Bakteri
Pemberian
fermentasi bakteri dilakukan pada pagi hari yaitu sebelum matahari terbit dan
disebarkan merata pada seluruh kolam. Pemberian fermentasi bakteri bertujuan
untuk memacu pertumbuhan plankton terutama phitoplankton, membantu proses
penguraian bahan organik yang berasal dari kotoran udang/ikan, sisa pakan,
plankton mati, bangkai udang/ikan, serta bahan organik yang terbawa dari sumber
air,meningkatkan kualitas air, membantu membersihkan dasar tambak, menekan
bakteri pathogen, dan meningkatkan jmlah zooplankton sehingga menambah daya
dukung tambak. Dosis yang digunakan untuk penebaran fermentasi bakteri adalah 2
-3 ppm.
Salah satu
kunci keberhasilan dalam budidaya udang adalah tersedianya benur yang
berkualitas. Benur yang berkualitas adalah benur yang bebas penyakit, memiliki
pertumbuhan yang cepat dan survival ratenya tinggi. Untuk itu, sebelum
penebaran harus dilakukan seleksi benur.
benih udang
yang baru datang dari bak penampungan tidak boleh langsung ditebar ke dalam
petakan karena suhu dan salinitas air yang digunakan untuk mengangkut atau
menampung benih tidak sama dengan suhu dan salinitas di dalam tambak. Hal ini
penting sekali untuk menjaga kesehatan dan kehidupan benih udang dari stres
yang berat. Untuk itu benih harus diaklimatisasi terlebih dahulu sebelum
ditebar.
secara visual dapat dibedakan antara benur yang baik dan yang tidak
baik, antara lain :
1.
Semua organ tubuh benur dalam keadaan lengkap dan tidak cacat.
2.
Gerakan lincah dan melawan arus.
3. Bentuk
tubuh ramping dan memanjang.
4.
Warna tubuh jernih atau putih kecoklatan.
5.
Benur sensitif atau peka terhadap gangguan fisik pada lingkungannya.
6.
Keadaan tubuh benur bersih dari kotoran dan lumut.
7.
Benur aktif mencari makan dan nafsu makan tinggi.
8.
Tidak ada perubahan warna yang mencolok pada benur pada kondisi terang maupun
gelap.
9.
Fototatis positif yaitu suka pada cahaya.
2.3.8 Ukuran benur relatif
seragam.
Benur
yang lulus seleksi dan telah mengalami proses aklimatisasi bisa langsung
ditebar perlahan-lahan kedalam petak pembesaran dengan kepadatan 100 – 125
ekor/m2.
2.3.9 Manajemen Pakan
Pemberian
pakan yang baik merata, dalam arti dapat diusahakan agar satu individu udang
dapat memperoleh bagian pakan yang sama dengan individu yang lainnya. Pemberian
pakan yang merata menghindari terjadinya kompetisi dalam mendapatkan makanan.
Apabila kompetisi dapat dihindari maka kanibalisme dapat dihindarkan.
Adapun
syarat-syarat pakan udang yang baik antara lain :
a.
Kondisi fisik
permukaan rata.
b.
Mempunyai bau
amis segar, kering dan tidak apek.
c.
Kemasan tidak kurang dan tidak rusak.
d.
Water stability pellet yang bagus tetap
bertahan pada air setidaknya 2 – 3 jam.
e.
Ukuran pellet
yang benar sesuai ukuran kemampuan makan udang dan bukaan mulut udang.
f.
Bahan baku
pakan berkualitas didukung bahan baku tepung ikan segar. Saat dicek dengan
dikunyah berasa manis.
g.
Attractability
pakan berkualitas memiliki attractability bagus sehingga pakan akan lebih cepat
dikonsumsi udang.
Frekuensi pemberian pakan pada udang kecil cukup 2 – 3 kali sehari,
karena masih mengendalkan pakan alami (Haliman dan Adijaya, 2005). Zaidy (2000)
berpendapat, pakan diberikan dengan cara disebar dipermukaan tambak dengan
frekuensi 5 – 6 kali sehari. Persentase jumlah pakan yang diberikan mulai dari
50 % saat udang baru beberapa hari ditebar dan 3 % saat udang akan dipanen.
Haliman dan Adijaya (2005) menambahkan, setiap pemberian pakan, 2 –
4 % dari jumlah total pakan yang ditebar harus dimasukkan ke anco. Hal ini
merupakan tindakan kontrol terhadap aktifitas memakan udang. Dua jam kemudian,
anco dapat diangkat dan diperiksa sisa pakan yang ada dengan demikian dapat
diprediksi kebutuhan pakan udang. Ciri-ciri udang kekurangan dan kelebihan
pakan yaitu :
Ditjen Kesehatan Ikan dan Lingkungan, Ditjen Perikanan Budidaya
(2005), peberian suplemen (feed additive) seperti vitamin, immonostimulan,
mineral, HUVA, carotenoid, astaxanthindan probiotik dapat dilakukan yang
bertujuan untuk meningkatkan daya tahan tubuh udang yang dibudidayakan. Vitamin
C dapat diberikan dengan dosis 3 gram/kg pakan. Bataglucan dapat diberikan 0, 1
gram/kg pakan, sedangkan fucoida dengan dosis 60 – 100 mg/kg berat udang/hari.
Menurut Arifin (2005), pemberian probiotik yang dicampur dengan
pakan udang bertujuan untuk :
1.Menyeimbangkan
mikroflora dalam usus, yaitu menekan bakteri yang merugikan.
2.Bakteri
yang hidup di dalam usus akan menghasilkan enzim sehingga diharapkan dapat membantu
sistem pencernaan pada udang.
3.Bakteri
mengandung protein yang cukup tinggi, sehingga dapat dimanfaatkan oleh udang.
4. Untuk
menghasilkan kekebalan tubuh pada udang.
2.4
Manajemen Kualitas Air
Kualitas air tambak berkaitan erat dengan kondisi kesehatan udang.
Kualitas air yang baik mampu mendukung pertumbuhan udang secara optimal. Hal
ini berhubungan dengan faktor stres udang akibat perubahan kualitas air di
tambak. Beberapa parameter kualitas air yang harus selalu dipantau yaitu suhu,
salinitas, pH air, kandungan oksigen terlarut (dissolved oxygen) dan amonia.
Parameter-parameter tersebut akan mempengaruhi proses metabolisme tubuh udang,
seperti keaktifan mencari makan, proses pencernaan, dan pertumbuhan udang
(Haliman dan Adijaya, 2005).
2.4.1 Temperatur (suhu air)
Suhu tambak dapat mempengaruhi kondisi udang, terutama pertumbuhan
dan kelangsungan hidup udang (survival rate). Suhu yang optimal untuk budidaya
udang yaitu 280 – 300 C. Pada suhu tinggi reaksi kimia seperti pH akan
meningkat sehingga cenderung terjadi peningkatan NH3 dalam air (Sudiro, 2005).
Pengaruh suhu air dengan kehidupan udang dapat dilihat pada gambar berikut ini
:
2.4.2 Salinitas (kadar garam)
Salinitas merupakan salah satu aspek kualitas air yang memegang
peranan penting karena mempengaruhi pertumbuhan udang. Udang muda yang berumur
1 – 2 bulan memerlukan kadar garam 15 – 25 ppt agar pertumbuhannya dapat
optimal. Setelah umurnya lebih dari 2 bulan, pertumbuhan udang relatif baik
pada salinitas antara 5 – 30 ppt. Pada kondisi tertentu, sumber air tambak bisa
menjadi hipersalin/kadar garam tinggi (diatas 40 ppt), hal ini sering terjadi
pada musim kemarau (Haliman dan Adijaya, 2005).
2.4.3 pH air
pH merupakan parameter air untuk mengetahui derajat keasaman. Air
tambak memiliki pH ideal antara 7,5 – 8,5. umumnya perubahan pH air dipengaruhi
oleh sifat tanahnya. Tanah yang mengandung pirit cenderung pH air bersifat
masam dan kisaran pH antara 3 – 4. Umumnya, pH air tambak pada sore hari lebih
tinggi dari pada pagi hari. penyebabnya yaitu adanya kegiatan fotosintesis oleh
fitoplankton yang menyerap CO2. Sebaliknya, pada pagi hari CO2 melimpah sebagai
hasil pernafasan udang (Haliman dan Adijaya, 2005).
2.4.4 Kandungan Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen yang terlarut di dalam perairan sangat dibutuhkan untuk
proses respirasi (pernafasan) baik oleh tumbuhan air, udang maupun organisme
lain yang hidup di dalam air (Afrianto dan Liviawaty, 1991). Menurut Haliman
dan Adijaya (2005), kadar oksigen terlarut yang baik berkisar 4 – 6 ppm. Pada
siang hari, tambak akan memiliki angka DO yang cenderung tinggi karena adanya
proses fotosintesis plankton yang menghasilkan oksigen. Keadaan sebaliknya pada
malam hari, pada malam hari plankton tidak melakukuan fotosintesis, bahkan
membutuhkan oksigen sehingga menjadi kompetitor bagi udang dalam mengambil
oksigen. Upaya untuk meningkatkan angka DO dilakukan dengan pemakaian kincir
air. Sebagai panduan, tambak seluas 0,25 ha membutuhkan 4 – 6 kincir air.
2.4.5 Amonia
Amonia merupakan hasil ekskresi atau pengeluaran kotoran udang yang
berbentuk gas. Selain itu, amonia bisa berasal dari pakan yang tidak termakan
oleh udang sehingga larut dalam air. Amonia baik yang berasal dari ekskresi
udang maupun hasil penguraian kotoran zat padat (faeces) dan sisa-sisa pakan
udang, selanjutnya dioksidasi oleh bakteri autotrof khususnya Nitrosomonas sp.
dan Nitrobacter sp. Amonia tersebut dioksidasi olek bakteri Nitrosomonas sp.
menjadi nitrit, kemudian nitrit yang terbentuk dioksidasi lebih lanjut oleh
bakteri Nitrobacter sp. dalam proses nitrifikasi.
Nitrit beracun bagi udang, karena mengoksidasi Fe2+ dalam
hemoglobin, sehingga kemampuan darah untuk mengikat oksigen sangat rendah.
Toksisitas dari nitrit yaitu mempengaruhi transport oksigen dalam darah dan
merusak jaringan. Kadar nitrit 6,4 ppm NO2-N dapat menghambat pertumbuhan udang
putih sebanyak 50 % (Wickins, 1976 dalam Arifin, 2005).
2.4.6 Kecerahan
Menurut Suyanto dan Mujiman (2002), air untuk tambak udang
seharusnya diambil dari air payau yang jernih, tidak keruh oleh lumpur. Apabila
pantai atau muara sebagai asal air tambak keadannya keruh, air harus diendapkan
dahulu di dalam petak pengendapan. Menurut ketentuan, batas kekeruhan yang
dianggap cukup adalah bila angka secchi disk antara 25 – 45 cm.
2.4.7 Monitoring Pertumbuhan
Pemantauan kesehatan udang harus dilakukan secara periodik
bersamaan dengan saat pemberian pakan dengan cara mengamati kondisi udang.
Apabila terjadi kondisi abnormal perlu pengamatan lebih rinci. Abnormalitas
pada udang merupakan peringatan dini (early warning) bagi pengelola tambak akan
adanya bahaya penyakit (Ditjen Kesehatan Ikan dan Lingkungan, Ditjen Perikanan
Budidaya 2005).
Untuk mengetahui jumlah berat badan udang dapat diketahui dengan
cara mengambil beberapa sampel lalu ditimbang dan dirata-rata. Apabila setelah
pengamatan ditemukan suatu gejala yang tidak baik atau ganjil, maka segera
mengambil tindakan yang tepat karena berpengaruh sekali terhadap produksi dan
penghasilan tambak.
2.5 Panen
Menurut Haliman dan Adijaya (2005), udang vannamei dapat dipanen
setelah berumur 120 hari (DOC120, DOC = day of culture) dengan berat berkisar
16 – 20 g/ekor. Pemanenan udang vannamei dapat dilakukan kapan saja, tetapi
umumnya pemanenan dilakukan pada malam hari. Selain untuk menghindari terik
matahari, pemanenan pada malam hari juga bertujuan untuk mengurangi resiko
udang ganti kulit selama panen akibat stres, karena udang yang ganti kulit akan
menyebabkan penurunan harga jual.
Menurut Suyanto dan Mujiman (2002), panen udang dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu panen sebagian dan panen keseluruhan (total). Panen
sebagian dilakukan dengan tujuan untuk menangkap udang yang besar-besar saja.
Alat yang paling umum digunakan untuk panen sebagian yaitu prayang yang terbuat
dari bambu. Prayang dipasang di tepi pematang tambak pada malam hari dengan
bagian prayang terletak tegak lurus pada pematang dan ujung luarnya tepat
berada di mulut prayang. Cara lainnya adalah dengan menggunakan jala.
Panen keseluruhan (total) dimaksudkan untuk menangkap seluruh udang
yang dipelihara. Pemanenan total dilakukan dengan cara mengeringkan petakan
tambak sehingga kedalaman air 10 – 20 cm hanya pada caren. Alat yang digunakan
biasanya berupa seser besar yang mulutnya direndam dalam lumpur dasar tambak
lalu didorong sambil mengangkatnya jika diperkirakan sudah banyak udang yang
masuk ke dalam seser.
2.6.
Pasca Panen
Pasca panen
bertujuan untuk menjaga mutu udang tetap tinggi karena udang termasuk produk
yang mudah sekali rusak (busuk). Tindakan yang perlu dilakukan pada pasca panen
udang vannamei antara lain :
Mencuuci udang ditempat penampungan udang untuk menghilangkan
kotoran atau lumpur yang menempel pada tubuh udang. Sortir dan kelompokkan
udang berdasarkan ukuran dan kualitasnya.
2.6.1 Penimbangan udang.
Memasukkan
udang yang telah ditimbang secepat mungkin kewadah (box, container) dan
tambahkan es. Hal ini merupakan proses pengepakan. Cara pengepakan udang ada
dua, yaitu cara berlapis dengan es dan cara teraduk (Haliman dan Adijaya,
2005).
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
1.Udang putih
atau Penaeus vannamel adalah udang yang bagus dibudidayakan ditambak dari pada
di kolam
2.Pembenihan
udang putih memerlukan salinitas yang tinggi yaitu 2 – 40 ppt dan temperatur
airnya antara 23 – 30 derajat.
3.Udang yang
dijadikan sebagai induk udang yang baik dan subur pertumbuhannya dan sebaiknya
bersifat SPF
4.Keunggulan
udang putih adalah dapat meresistensi terhadap beberapa penyakit yang biasa
menyerang udang.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/7519/BUDIDAYA-UDANG-VANNAMEI
http://mengenaludangwindu.blogspot.com/2009/04/mengenal-udang-putih-vanamei.html
http://sciencedesmus.blogspot.com/2012/05/udang-vannamei.html
http://lanwebs.lander.edu/faculty/rsfox/invertebrates/farfantepenaeus.html
Gambar : Setiyo Meitri, Ardiyansah & Baudan Marius, PKL III
Semester IV Politeknik N Pontianak, Tambak Udang Vannamei (Litopenaeus
vannamei), PT. Aquatica Intiraya Prima; Mempawah, Kab. Pontianak, Kal-Bar, Juli
2012.
MAKALAH BUDIDAYA UDANG PUTIH
Reviewed by Screamer
on
03:44
Rating:
gan, ane minta tolong kirimi jurnal atau reverensi tentang udang vannamei dong, kirim ke galuhendri3@gmail.com
ReplyDeletegan, ane minta tolong kirimi jurnal atau reverensi tentang udang vannamei dong, kirim ke galuhendri3@gmail.com
ReplyDelete