KULTURE ZOOPLANKTON
(Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Planktonologi)
Disusun Oleh :
Muhamad Galih Prayoga
(033041111003)
PROGRAM STUDI MANAJEMAN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUKABUMI
2013
Kultur Zooplankton
Sejarah
dimulainya kultur pakan alami dilakukan oleh Allen dan Nelson pada tahun 1910,
dengan kulture diatom untuk pakan Invertebrata (Ryther and Goldman, 1975).
Adapun
beberapa glongan dari zooplankton yang digunakan sebagai pakan alami dan perlu
dibudidayakan sebagai pakan alami burayak diantaranya adalah :
1. Brachionus sp.
2. Kopepoda (Cyclop sp., Acartia sp.)
3. Diaphanosoma sp.
4. Artemia sp.
5. Cacing rambut
6. Daphnia sp.
7. Moina sp.
8. Larva chironomus
9. Infusoria[1]
Budidaya Infusoria
Infusoria adalah salah satu kelas dari philum Protozoa. Dalam kelas
Infusoria ini kita mengenal subkelas Ciliata, yaitu kelompok hewan-hewan bersel
satu yang berbulu getar (silia). Beberapa jenis Ciliata yang sering kita dengar
adalah Paramaecium caudatum, Colpoda cicullus, Didinium nasutum, dan colpidium
campylum.
Infusoria umumnya hidup di air tawar, misalnya di sawah-sawah yang
banyak jeraminya. Namun ada juga diantaranya yang hidup di air laut. Makananya
terdiri dari bakteri, protozoa lain yang lebih kecil, ganggang renik, ragi dan
detritus yang halus. Oleh karena itu Infusoria biasanya menghuni
perairan-peraiaran yang tercemar, yang sedang mengalami proses pembusukan yang
berat.
Paramecium relatif berukuran besar (80 – 350 mikron). Dengan mata
telanjang nampak seperti bintik putih yang berrgerak-gerak. Bentuknya yang
mirip sandal sehingga banyak yang menyebutnya binatang sandal. Seluruh
permukaan tubuhnya berbulu getar dan dipakai juga sebagai alat gerak, muluitnya
berupa lekukan yang terletak pada ujung tubuh yang lancip.
Colpoda tubuhnya sedikit pipih, cembung pada bagian punggung dan
datar pada bagian perut. Lubang mulut sel mengrah ke depan dengan dikelilingi
bulu getar. Didinium berbentuk agak bulat panjang, dengan bulu getar tersusun
dalam rangkaian. Ujung depan tubuhnya mempunyai bangunan seperti krucit yang
menonjol. Sedangkan Colpidium berbentuk lonjong dengan lubang mulut sel
terletak ditengah-tengah tubuh.
Untuk pengembangbiakan bibit Infusoria (khususnya Ciliata) dapat di
jumpai di alam, dengan cara menggunakan pipet panjang, beujung halus dan
berbola penyedot yang besar. Karena Infisoria suka bereang –renang bebas di
antara akar-akar tanaman air (seperti Teratai dan Eceng gondok), lagi pula ia
tidak suka terhadap sinar matahari langsung.
Dengan alat tersebut kita meyedot air langsung pada sarangnya. Air
yang telah disedot ditampung dibotol dan diamati di mikroskop apakah terdapat
bibit Infusoria atau tidak.Untuk mempermudah pengamatan Ciliata yang bergerak
lincah perlu dihambat dengan serabut kapas, serabut kertas lensa, agar-agar,
selatin, atau tragakan. Selain itu dapat juga digunakan metil selulose (10 g
metil selulose dalam 90 ml air suling). Apabila kita sudah mendapatkan bibitnya
selanjutnya dapat kita tularkan dalam media panangkaran.Untuk penangkaran bibit
tersebut, kita dapat menggunakan air rebusan jerami. Media tersebut dibuat
dengan merebus 70 g jerami kering yang telah dipotong kedalam air suling selama
15 menit. Setelah dingin kita saring dan diencerkan dengan air suling lagi sampai
volume 1,5 L.
Selain air rebusan jerami, kita juga dapat menggunkan media lain
seperti air rebusan kacang panjang, air rebusan kecambah, air rebusan daun
selada, atau air beras. Setelah kita mengetahui media dan bibitnya, maka media
yang telah kita buat diencerkan lagi dari 10 ml ke 100 ml kemudian dituangkan
ke cawan petri dan bibit Ciliata yang sudah ada kita masukan. Cawan petri
ditutup dengan kain sutra dan disimpan ditempat yang gelap dengan suhu berkisar
280 C. Setelah 1-2 minggu biasanya bibit telah berkembang menjadi banyak.
Ciliata yang sudah banyak inilah yang kita gunakan sebagai pakan
dari burayak-burayak ikan yang kita pelihara, terutama burayak yang sedang
beralih makanan dari fitoplankton ke zooplanktone. Apabila medium bididaya
sampai berbau busuk, maka perlu penggantian air. Air yang lama kita buang
perlahan dengan selang secara bertahap, yang kemudian kita masukan air baru
dengan menggunakan selang juga, sampai volumenya kembali seperti volume awal.
Budidaya Brachionus
Branchionus adalah hewan renik panktonik termasuk dalam philum
Trochelminthes, kelas Rotatoria (rotifera) subkelas Monogononta, ordo
Notomatida, subordo Hydatinia, family Branchiodae. Beberapa jenis yang kita
kenal antara lain adalah Brannchionus plicatilis, B. pala, B. angularis, B.
mollis, B. kuadratis, dan B. puncatus.
Ukuran tubuhnya antara 50-300 mikron dengan struktur tubuh yang
sangat sederhana. Ciri khas yang digunakan untuk penaman Rotatoria atau
Rotifera adalah terdapatnya suatu bangunan yang disebut korona. Korona ini
bentuknya bulat dan berbulu getar, yang memberikan gambaran seperti sebuah
roda, sehingga dinamakan Rotifera.
Secara alami Branchionus suka memakan jasad-jasad renik yang lebih
kecil dari pada dirinya. Antara jenis jantan dan betina terdapat perbedaan bentuk
yang menylok, dimana yang jantan ukurannya lebih kecil dari betina.
Perkembangbiakan secara partenogenesis dan dalam 8-12 hari dapat menghasilkan
sebanyak 5 butir telur.
Hewan ini dapat ditemukan diperairan tawar, payau, atau laut yaitu
tergantung jenisnya. Penangkapan hewan ini bisa menggunakan plankton net.
Setelah didapat kita tempatkan pada tempat pembibitan agar menjadi banyak.
Tempat pembibitan kita buat dari air rebusan kotoran kuda atau pupuk kandang
lainnya. Mula-mula kita rebus 800 gr kotoran kuda kering kedalam 1 L air.
Setelah mendidih selama 1 jam kita dinginkan dan disaring. Air saringan kita
encerkan dengan air hujan yang telah di rebus dengan volume dua kali lipat
rebusan kotoran kuda. Media yang sudah jadi kita masukkan kebotol ukuran 1
galon dan kita tulari bibit protozoa dan ganggang renik sebagai pakan
Branchionus, seelah 7 hari baru kita masukkan bibit Branchionus. Biasanya bibit
akan berkembang baik setelah mencapai waktu 1-2 minggu.
Cara lain untuk pembibitan yaitu dengan cara menenmpatkannya
kedalam medium air hijau (green water) yang sudah terdapat fitoplanktonnya
(Chlorella dan Tetraselmis). Setelah beberapa hari maka akan berkambang menjadi
lebih banyak dan siap digunakan sebagai pakan burayak.
Budidaya Kutu Air
Kutu air termasuk dalam udang-udangan renik berfilum Arthopoda,
kelas Crustacea, subkelas Entomostraca, ordo Phylopoda, subordo Cladocera.
Contoh yang terkenal adalah Moina (100-1000 mkron) dan Daphnia (1000-5000
mikron). Diantara udang-udangan lainnya, kutu air termasuk yang paling
primitif.
Ciri umumnya adalah bentuknya gepeng dari samping kesampaing.
Dinding tubuh membentuk lipatan yang menutupi bagian tubuh pada kedua belah
sisinya, sehingga nampak seperti kerang-kerangan. Diatas tubuh bagian belakang
pada cangkang membentuk kantong yang berfungsi untuk tempat penmpungan dan
perkembangan telurnya.
Kutu air (khususnya Moina dan Daphnia) hidup pada air tawar, jarang
yang hidupnya di laut yaitu Podon dan Evadne. Makananya berupa tumbuh-tumbuhan
renik dan detritus dengan cara menggerakkan kaki-kakinya yang pipih. Gerakan
tersebut menimbulkan arus yang membawa makanan sampai dekat mulutnya.
Hewan ini biasa hidup pada suhu 22-3o C dengan pH 6,6 – 7,4. Umur
biota ini dapat mencapai 30 hari dan setiap 2 hari sekali beranak yang kurang
lebih jumlanya 33 ekor untuk Moina sedangkan Untuk Daphnia hanya sampai 12 hari
dimana setiap 1-2 hari bisa beranak sampai 29 ekor.
Untuk mendapatkan bibit, kita bisa membelinya pada peternak kutu
air yang sekarang sudah diperjual belikan. Biasanya pada Balai Budidaya dan
Panti pembenihan udang dan ikan.
Untuk mengamati ada tidaknya bibit disuatu perairan, bisa
menggunakan lempengan putih yang kita benamkan ke air. Dengan latar belakang
putih, kutu air akan tampak seperti kumpulan awan.Pengamatan akan lebih mudah
jika kita mengamatinya pada pagi hari yang cerah. Bibit kemudian ditempatkan
pada media penangkarang yang terbuat dari air tawar yang sudah dimasukkan
potongn jerami kering dan pupuk kandang masing-masing 0.2 kg/m2 tapi ditunggu
setalah berwarna kecoklat-coklatan yang mengindikassikan fitoplankton sudah
tumbuh pada media tersebut sebagai pakannya.Penangkapan bibit harus pagi- pagi
dengan peralatan sebuah seser terbaut dari kain saringan plankton. Garis tengah
seser 20-25 cm bertangkai 2 m. Pengamatan kita lakukan disekitar kayu-kayu
terapung, tunggul pohon atau tanaman yang sedang membusuk. Setelah kita
menemukan tempat hidupnya, kita harus segera menangguknya dengan seser. Pada
waktu menagguk, kita lakukan sambil membuat olakan sehingga kutu air yang
berada dibawah akan naik keatas.
Hasil tangkapan ditempatkan pada ember berisi air tawar 20 L,
karena kutu air sensitif terhadap panas maka kita perlu sedia es batu sebagai
pendinginnya. Wadah ditutup dan pada tutupnya diberi lubang-lubang.
Bibit yang kita tangkap segera kita masukkan ke bak penangkaran
yang telah kita sediakan. Secara berkala (1-2 kali dalam seminggu) air medianya
kita pupuk lagi dengan pupuk kandang dengan ukuran yang sama seperti waktu
pertama. Apabila kepadatan sudah mencapai 4000 ekor / L, maka kita sudah dapat
memanennya yang biasanya dicapai antara 7-10 hari. Apabila hasil panen kita
banyak sehingga tdak habis sekali pakai, maka kita bisa menyimpannya pada
lemari es “freezer” bukan refrigerator.
Budidaya Artemia
Artemia atau “Brine Shrimp” adalah sejenis udang-udangan primitif
yang termasuk dalam philum Anthropoda, kelas Crustacea, subkelas Branchiopoda,
ordo Anastroca, famili Artemiidae. Hewan ini hidup planktonik pada perairan
berkadar garam tinggi ( antara 15-300 permil). Suhu yang dikehendakipun tinggi
(antara 25-30o C) degan oksigen terlarut sekitar 3 mg/Ldan pH antara 7,3 – 8,4.
Artemia dewasa mampu mencapai panjang 1-2 cm dengan berat sekitar
10 mg. Anaknya yang baru menetas (nauplius instar 1) panjangnya mencapai 0,4 mm
dengan berat sekitar 15 mikrogram. Secara alami makanannya berupa detritus,
ragi laut, bakteri, ganggang renik dan biota lainnya yang ukurannya 50 mikron
kebawah.
Perkembangbiakan dengan biseksual dan partenogenesis. Perkembangan
pada jenis biseksual harus melalui perkawainan antara betina jantan. Pada kedua
jenis perkembangbiakan tersebut bisa terjadi ovovivipar maupun ovipar.
Ovoviviparitas biasaya terjadi pada keadaan lingkungan yang cukup
baik dengan kadar garam kurang lebih 150 permil dengan kandungan oksigen yang
cukup baik. Sedangkan oviparitas terjadi apabila keadaan lingkungan nya buruk.
Telur yang bercangkang tebal itu memang disiapkan untuk keadaan lingkungan yang
buruk, bahkan juga kekeringan. Sementara itu embrio yangberada dalam cangkang beristirahat
(diapauze), jika kaeadaan sudah menjadi baik kembali maka telur akan menetas
menjadi burayak, yang selanjutnya akan hidup normal seperti biasa.
Artemia dewasa dapat hidup hingga 6 bulan, sementara induk- induk
betinanya akan beranak atau bertelur setiap 4-5 hari sekali. Setiap kali dapat
menghasilkan 50-300 ekor anak atau telur. Anak-anak Artemia akan menjadi dewasa
setelah berumur 14 hari.Setelah Artemia meninggalkan sejumlah telur, sementara
itu keadaan lingkungan tetap saja memburuk maka Artemia rela untuk mati. Tetapi
jenis Artemia tidak akan punah karean apabila lingkungan sudah membaik kembali,
telur-telur itu akan beramai-ramai untuk menjadi induvidu baru.
Untuk mendapatkan bibit artemia, kita dapat membeli bibit berupa
kista (telur artemia) yang diawetkan di kaleng. Dewasa ini yang sering
berkembang di indonesia adalah telur Artemia merk Greatwall dari Cina yang
merupakan jenis partenogenesis dan merk Bio Marine dari Great Salt Lake yang
merupakan jenis biseksual dari Amerika.
Apabila kita telah mendapatkan telurnya, tahap untuk mendapatkan
bibit yaitu kita harus menetaskan telur tersebut terlebih dahulu secara khusus.
Anaknya yang baru menetas (nauplius) akan dijadikan sebagai sebagai bibit untuk
penebaran.
Untuk menetaskan Artemia kita perlu wadah bening dan dengan alas
(dasar) berbentuk krucut, sedangkan ukurannya boleh bermacam-macam mulai dari
kapsits 3 L sampai 75 liter. Dengan media air laut biasa (kadar garam kurang
lebih 30 permil), jumlah kepadatan telur yang kita tetaskan antara 5-7 g/L.
Dengan suhu 25-30o C sedangkan kadar oksigennya harus lebih dari 2 mg/L. Oleh
karena itu medianya harus kita udarai, baik dengan blower, kompresor ataupun
aerator yang disambungkan dengan selang plastik dan tidak usah menggunakan batu
aerasi dengan pengudaraan secukupnya saja. Selain untuk aerator, aliran udara
tesebut juga berfungsi untuk mengaduk telur artemia yang berada dibawah agar
tersebar merata.
Untuk merangsang proses penetasan kita gunakan lampu TL untuk
pencahayaan yang di tempatkan disamping wadah dengan pencahayaan sekitar 1.000
luks. Dalam waktu 24-36 jam setalah pemasukan telur, biasanya telur-telur itu
sudah menetas menjadi anak artemia (nauplius). Selagi burayak masih belum perlu
makan (kurang dari 24 jam sesudah menetas), harus kita tangkap. Sebelum
penangkapan, pengudaraan harus dimatikan terlebih dahulu. Kemudian bagian atas
wadah penetasan kita tutup dengn kain atau plastik hitam, sedangkan bagian
bawahnya kita sinari. Setelah itu kita tunggu 5-10 menit.
Dengan cara demkian, maka cangkang telurnya yang telah kosong akan
mengapung ke permukaan, sedangkan anak Artemia akan mengumpul ke bawah, karena
tertarik dengan pencahayaan. Selanjutnya anak artemia kita sedot dan kita
tampung agar dan kita cuci (rendam) agar kotoran hilang. Anak Artemia yang
sudah bersih itulah yang akan dijadikan sebagai bibit pada Budidaya massal [2]
DAFTAR PUSTAKA
MAKALAH KULTURE ZOOPLANKTON
Reviewed by Screamer
on
03:48
Rating:
No comments: