DESENTRALISASI
PENGELOLAAN PERIKANAN
(Untuk
memenuhin tugas paper mata kuliah Manajemen Sumberdaya Perikanan)
Sumberdaya ikan
memiliki potensi yang besar hingga sering disebut sebagai raksasa tidur (the sleeping giant). Hasil riset Komisi
Stok Ikan Nasional menyebutkan bahwa stok sumberdaya ikan Indonesia sebesar 6,4
Juta ton pertahun. Tentu saja angka tersebut hanyalah estimasi kasar (Suseno
2007).
Dengan kekayaan
sumberdaya ikan yang melimpah, Indonesia mempunyai peluang yang sangat besar
dalam bisnis perikanan dunia. Pembangunan perikanan pada tahun-tahun ke depan
perlu mendapatkan perhatian yang serius dari para stakeholder. Hal ini berdasarkan pada dua fakta, yaitu pertama,
peningkatan permintaan ikan dunia seiring dengan meningkatnya populasi manusia.
Suseno (2007) menyebutkan bahwa Indonesia sendiri dengan potensi sumberdaya
ikan yang sangat besar dan negara produsen perikanan tangkap terbesar kelima di
dunia sebanyak 4,5 juta ton pada tahun 2004 setelah Cina, Peru, Cili dan
Amerika Serikat .
Kedua, dengan
meningkatnya permintaan akan sumberdaya ikan, maka akan berdampak pula pada
keberadaan sumberdaya ikan. Artinya jika tidak dikelola dengan baik,
dikhawatirkan akan terjadi kelangkaan sumberdaya ikan pada tahun-tahun ke
depan.Sistem yang diterapkan oleh pemerintah berupa sentralisasi pembangunan
perikanan selama orde baru tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak faktor
yang telah menyebabkan pembangunan kelautan nasional pada masa lalu belum
seperti yang kita harapkan, salah satu faktor yang terpenting adalah bahwa
proses perencanaan dan pengambilan keputusan tentang pembangunan kelautan
sangat sentralistik dan Top-down.
Sistem top down yang
diterapkan telah menimbulkan ketidakteraturan dalam pengelolaan sumberdaya laut
sehingga sangat rawan konflik antarnelayan. Permasalahan ini semakin rumit
karena sumberdaya yang open access
sulit mengatur penangkapan ikan di laut. Hukum rimba pun berlaku, yang kuat
akan menindas yang lemah. Selama ini top
down dan open access telah
memunculkan dilema dalam masyarakat perikanan. Di satu sisi menjadi pintu
keberhasilan perikanan tangkap skala besar, di sisi lain menjadi lingkaran
kemiskinan bagi nelayan tradisional.
Dengan demikian,
diperlukan kebijakan mengenai perikanan dari para stakeholder, yang lebih komprehensif, berkeadilan, dan berpihak
pada kesejahteraan masyarakat serta kelestarian sumberdaya ikan. Saat ini,
meskipun Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dari sumberdaya kelautan
dan perikanan bukannya tanpa masalah. Besarnya potensi tidak diimbangi oleh
pemanfaatn yang optimal dengan tujuan untuk kemakmuran rakyat. Isu kemiskinan
nelayan, serta gejala over-fishing di
perairan Indonesia, adalah beberapa masalah yang tengah dihadapi para stakeholder perikanan Indonesia.
Dukungan berupa
kebijakan politik serta pemihakan yang nyata dari seluruh instansi terkait akan
dapat menjauhkan dan menjaga indonesia dari keterpurukan dalam sektor
perikanan, serta menjadikan sektor perikanan pilar keunggulan kompetitif bangsa
dan pembangunan ekonomi dan penigkatan kemakmuran rakyat. Berdasarkan hal itu,
kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan diletakkan dalam tiga pilar utama
(Suseno 2007), yaitu:
1.
Pro-Growth Strategy
: Pembangunan diarahkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
2.
Pro-Job Strategy
: Pembangunan diarahkan untuk menyerap tenaga kerja.
3.
Pro-Poor Strategy :
Pembangunan diarahkan untuk mengentaskan kemiskinan.
Untuk mewujudkan tiga
pilar pembangunan perikanan dan kelautan, diperlukan suatu kebijakan yang mampu
menggerakkan masyarakat mulai dari pusat hingga daerah. Otonomi daerah atau
desentralistik adalah salah satunya. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, desentralistik adalah penyerahan wewenang pemerintah dari pemerintah
ke daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kebijakan
desentralistik setidaknya membawa berbagai implikasi penting, diantaranya
terhadap kelembagaan, pengelolaan sumberdaya ikan dan partisipasi masyarakat.
Partisipasi masyarakat nelayan dapat terwujud, jika masyarakat nelayan dapat
memainkan peranannya secara jelas, memperoleh keadilan, akses, dan keadilan
atas sumberdaya.
Dalam Suseno (2007)
menyatakan bahwa manfaat desentralistik dari segi partisipasi masyarakat dan
kualitas pelayanan publik:
1.
Partisipasi
luas masyarakat dalam aktivitas sosial, ekonomi dan politik.
2.
Memotong
jalur biokrasi yang kompleks dan meningkatkan sensitivitas aparatur pemerintah
terhadap kondisi lokal.
3.
Melibatkan
partisipasi yang luas berbagai perwakilan masyarakat dari berbagai kelompok
etnis, agama dan budaya dalam proses pengambilan keputusan publik.
4.
Menghasilkan
program pelayanan publik yang lebih kreatif, inovatif, dan responsif karena
melibatkan partisipasi masyarakat.
5.
Memberi
peluang kepada masyarakat dalam mengawasi program publik.
6.
Pelayanan
publik yang efisien, merata dan efektif.
Pelaksanaan
desentralisasi mempunyai dua efek yang sangat berlawanan terhadap pengelolaan
sumber daya kelautan tergantung dari pendekatan dan penerapannya.
Desentralisasi akan mengarah pada over-eksploitasi dan kerusakan tanpa adanya
pendekatan yang baik, namun sebaliknya dapat memaksimalkan potensi sumberdaya
kelautan dengan tetap mengindahkan aspek kelestarian dan kelangsungan. prasyarat
diperlukan demi tercapainya pengelolaan sumberdaya kelautan berbasis komunitas
lokal/desentralistik.
Kewenangan pemerintah
daerah untuk melakukan pengelolaan sumberdaya kelautan dan terdapatnya
akuntabilitas otoritas lokal merupakan prasyarat utama demi tercapainya
pengelolaan sumberdaya kelautan dalam kerangka pelaksanaan desentralisasi
(Ribbot 2002, dalam Rudy 2007). Prasyarat pertama yaitu terdapatnya kewenangan
pemerintah daerah dalam hal pengelolaan sumberdaya kelautan. Kewenangan ini
terdapat dalam bentuk kekuatan hukum dalam pasal 18 ayat (1) UU No. 32 Tahun
2004 yang menyatakan bahwa daerah memiliki kewenangan pengelolaan sumberdaya
kelautan. Ketentuan hukum ini merupakan dasar yuridis yang kuat bagi pemerintah
daerah dan komunitas lokal untuk mengupayakan pengelolaan yang disesuaikan
dengan kepentingan dan kondisi lokal. Kewenangan ini tertuang dalam pasal 18
yang mencakup:
1.
Eksplorasi,
eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut;
2.
Pengaturan
administratif,
3.
Pengaturan
tata ruang,
4.
Penegakan
hukum terhadap peraturan,
5.
Ikut
serta dalam pemeliharaan keamanan, dan
6.
Ikut
serta dalam pertahanan kedaulatan bangsa.
Kewenangan pemerintah
daerah dalam pengelolaan sumberdaya kelautan ini ada pada wilayah laut sejauh
12 mil diukur dari garis pantai terluar bagi pemerintah daerah provinsi dan 1/3
dari wilayah laut kewenangan pemerintah daerah provinsi bagi pemerintah
kabupaten/kota. Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24
(dua puluh empat) mil, maka kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah
laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah
antar 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3
(sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud.
Kewenangan yang
dimiliki oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota ini tidak berlaku bagi
penangkapan ikan oleh nelayan kecil dalam arti bahwa kewenangan yang diberikan
kepada tiap daerah tidak akan membatasi usaha nelayan kecil dalam mencari
penghidupan. Ketentuan ini diharapkan dapat menghilangkan praktek-praktek
pelarangan bagi nelayan kecil memasuki dan menangkap ikan di wilayah laut
daerah tertentu seperti yang terjadi pada awal pelaksanaan desentralisasi di
Indonesia.
Prasyarat kedua
adalah akuntabilitas otoritas lokal terhadap komunitas lokal. Akuntabilitas
dari otoritas lokal memegang peranan penting dalam hal ini. Tidak ada otoritas
lokal yang mempunyai akuntabilitas yang sempurna, namun demikian akuntabilitas
yang kuat dari otoritas lokal merupakan prasyarat keberhasilan pengelolaan
sumberdaya kelautan yang berintikan komunitas lokal atau berdasarkan
desentralistik.
Namun,
terdapat berbagai masalah dalam pengelolaan perikanan dengan menggunakan sistem
desentralistik. Pertama, desentralistik sektor kelauatan masih mengalami
kendala pada aturan main, dimana kewenangan dalam pengelolaan sumber daya
kelautan berada pada wilayah laut sejauh 12 mil diukur dari garis pantai
terluar bagi pemerintah daerah provinsi, dan 1/3 dari wilayah laut kewenangan
pemerintah daerah provinsi bagi pemerintah kabupaten/kota. Sehingga keluar dari
12 mil tersebut, adalah kewenangan pemerintah pusat yang dikenal sebagai Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE). Akibatnya sekitar 50% lebih kekayaan laut masih dikelolah
oleh pemerintah pusat, bukan dikelola oleh pemerintah daerah.
Kedua,
dampak dari pemberlakuan aturan main desentralistik sektor kelautan tersebut,
perairan Indonesia masih rawan terjadi illegal fishing yang sengaja
dilakukan oleh nelayan asing di laut yang kaya akan potensi sumberdaya ikan
seperti di laut Banda dan Arafuru. Akibatnya pemerintah daerah tidak memiliki
kewenangan untuk mengawasi ZEE yang merupakan kewenangan pemerintah pusat,
dimana hanya menjadi penonton terjadinya ilegal fishing.
Menyangkut problem ini, Mahsul (2005) dalam Latuconsina (2007)
Menyangkut problem ini, Mahsul (2005) dalam Latuconsina (2007)
lantas mengungkapkan, misalnya dalam pengelolaan perikanan di propinsi yang
merupakan kepulauan seperti Maluku yang hanya sejauh 12 mil banyak wilayahnya
yang kosong terpisah jauh oleh perairan melebihi jarak 12 mil yang ditetapkan
untuk pengelolaan wilayah laut. Sehingga akan masuk wilayah mana wilayah yang
kosong tersebut? . Konsekuensinya akan mengakibatkan wilayah laut tidak
bertuan, sehingga wilayah laut yang kosong tersebut rawan terjadinya illegal
fishing.
Maka diperlukan
amandemen pada Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dimana amendeman itu, menyangkut pasal-pasal yang membatasi kewenangan
pemerintah daerah, yang memiliki karakteristik wilayah yang didominasi oleh
laut. Sehingga wilayah-wilayah laut yang tidak bertuan tersebut, dapat di
alihfungsikan kedalam wilayah provinsi, dan bisa dikelola demi
peningkatan kesejahteraan rakyat.
Desentralistik yang
diterapkan oleh pemerintah pusat memang sebaiknya dipertegas kembali. Bagaimana
pun juga, desentralistik memamg merupakan suatu keharusan dalam pengelolaan
perikanan yang bertanggung jawab. Anggraini (2006) mengungkapkan bahwa
berdasarkan hasil studi di Kepulauan Seribu menunjukkan adanya keresahan
nelayan lokal karena praktik "kapal jaring kolor" (sejenis purse
seine) di wilayah tangkap mereka yang tidak jauh dari pulau pemukiman dan
merupakan zona pemanfaatan tradisional.
Kapal-kapal nelayan
besar dari luar daerah beroperasi pada malam hari, dengan menggunakan lampu
sorot yang menarik ikan-ikan untuk berkumpul mendekat. Jelas penggunaan alat
yang lebih canggih dibandingkan alat tangkap nelayan lokal akan menguras
ikan-ikan di perairan itu. Masyarakat lokal sendiri tidak berdaya untuk
mengusir kapal-kapal tersebut. Sementara pengawasan oleh aparat pun sangat
lemah.
Kasus diatas hanyalah
salah satu contoh dari bentuk kelemahan sistem pengelolaan sumberdaya laut
selama ini. Laut dipahami sebagai milik bersama sehingga siapa saja dapat
menangkap ikan di mana saja. Namun apakah dengan begitu aturan-aturan menjadi
tidak berlaku? Begitulah, dengan sentralisme aturan-aturan sulit diterapkan
karena semua menjadi kewenangan pusat, dan pengawasan pun dilakukan oleh
pemerintah pusat sehingga akhirnya dengan segala keterbatasannya tidak mampu
mencegah pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di laut. Keluhan-keluhan
masyarakat di berbagai daerah pun tidak bisa ditanggapi dengan cepat. Oleh
karena itu memang desentralisasi menjadi perlu untuk mengefektifkan pengelolaan
dan pengawasan sumber daya laut, dan mengeliminasi marginalisasi kepentingan
masyarakat lokal.
Dari uraian di atas
jelas sekali kita melihat bahwa desentralistik pengelolaan perikanan sebetulnya
mempunyai keunggulan yang lebih dibandingkan dengan sistem pengelolaan yang
bersifat sentralistik. Dengan sistem desentralistik, daerah dapat mengetahui
apa yang menjadi masalah mereka dan bagaimana cara menyelesaikan masalah
tersebut. Namun, semua memerlukan waktu agar sistem yang baru berjalan ini
dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Pemerintah daerah
tentu memegang peranan penting dalam pelaksanaan desentralisasi pengelolaan
perikanan ini, selain pemerintah pusat, masyarakat serta stockholder lainnya
yang berkepentingan di sektor perikanan tentunya. Mereka harus siap menghadapi
tantangan dalam mengelola sektor perikanan yang sangat potensial, supaya tidak
ada lagi terjadi kebijakan yang merugikan masyarakat nelayan. Sehingga sektor
perikanan mampu menjadi tulung punggung negara dalam memberantas kemiskinan, ketidakadilan
kebijakan pemerintah terhadap nelayan, serta mampu menjadi penyumbang devisa
bagi Indonesia.
Perwujudan
desentralisasi perlu dipertegas lagi bila bangsa ini ingin mendapatkan hasil
yang baik dalam proses pembangunan. Pelaksanaan desentralisasi masih terasa
setengah hati, sehingga permasalahan-permasalahan yang selama ini ada tidak
membaik sedikitpun.
DESENTRALISASI PENGELOLAAN PERIKANAN
Reviewed by Screamer
on
04:00
Rating:
No comments: